Keberhasilan pemasaran influencer tidak hanya bergantung pada jumlah pengikut, tetapi juga pada faktor-faktor seperti autentisitas konten, tingkat keterlibatan pengikut, dan kesesuaian merek. Dalam era influencer fatigue, di mana konsumen semakin skeptis terhadap konten promosi, merek perlu memilih influencer yang dapat menciptakan konten autentik dan relevan.
Sebuah penelitian terbaru dari University of Washington, menunjukkan beberapa faktor penentu yang berdampak pada keberhasilan pemasaran influencer. Dalam era saat ini, sekitar 70% orang lebih memilih merek yang diendorse oleh influencer media sosial dibandingkan iklan tradisional.
Namun, bukan berarti setiap kampanye pemasaran influencer selalu berhasil. Faktanya, ada beberapa aspek kunci yang mempengaruhi keberhasilan pemasaran melalui influencer.
Penelitian tersebut menyoroti tiga faktor utama yang mempengaruhi efektivitas pemasaran influencer. Pertama, kualitas dan autentisitas postingan. Seperti yang telah disebutkan dalam artikel sebelumnya, autentisitas sangat penting. Influencer yang menciptakan konten berkualitas tinggi dan tampak autentik dalam mempromosikan produk atau merek memiliki dampak yang lebih besar terhadap audiens mereka. Ini sejalan dengan temuan sebelumnya bahwa konsumen menghargai transparansi dan keaslian dalam konten yang dipromosikan oleh influencer.
Kedua, tingkat keterlibatan pengikut. Penelitian menunjukkan bahwa tingkat interaksi antara influencer dan pengikut mereka juga berdampak signifikan terhadap keberhasilan kampanye pemasaran. Influencer dengan tingkat interaksi yang tinggi biasanya memiliki hubungan yang lebih dekat dengan pengikut mereka, yang berarti mereka memiliki lebih banyak pengaruh.
Ketiga, kesesuaian antara influencer dan merek atau produk yang dipromosikan. Sebuah kemitraan antara influencer dan merek harus memiliki kesamaan nilai dan gaya untuk dapat efektif. Influencer yang mempromosikan produk atau merek yang tidak sesuai dengan citra mereka bisa berisiko merusak kredibilitas mereka, dan akhirnya, efektivitas pemasaran.
Temuan penelitian ini menggarisbawahi pentingnya memilih influencer yang tepat dan membuat konten yang autentik dan relevan. Itu juga menggarisbawahi pentingnya membangun hubungan antara influencer dan audiens mereka.
Lebih jauh lagi, studi ini mengindikasikan bahwa pendekatan pemasaran melalui influencer yang hanya berfokus pada jangkauan dan jumlah pengikut bisa jadi kurang efektif. Sebaliknya, merek harus mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti tingkat keterlibatan, kesesuaian merek, dan autentisitas konten ketika memilih influencer untuk kampanye mereka.
Dengan demikian, mengambil inspirasi dari hasil penelitian ini, merek perlu mempertimbangkan lebih dari sekadar jumlah pengikut ketika memilih influencer. Mereka harus mencari influencer yang dapat membuat konten autentik dan berkualitas, yang memiliki tingkat keterlibatan pengikut yang tinggi, dan yang nilai-nilainya sejalan dengan nilai-nilai merek mereka.
Hal ini khususnya penting dalam era influencer fatigue, dimana konsumen semakin skeptis terhadap endorsement oleh mega influencer dan lebih mencari keaslian dan transparansi dalam konten bersponsor.
Influencer fatigue adalah sebuah fenomena di mana audiens atau konsumen mulai merasa lelah atau jenuh dengan konten influencer, khususnya konten bersponsor atau yang berisi promosi produk dan jasa. Hal ini biasanya disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk kurangnya transparansi, keberlebihan konten promosi, atau kesan bahwa influencer tidak lagi otentik atau tulus dalam rekomendasi mereka.
Misalnya, jika seorang influencer terus-menerus memposting konten bersponsor tanpa menciptakan konten lain yang berarti atau menarik bagi audiens, pengikut mungkin mulai merasa jenuh dan kurang tertarik dengan konten tersebut. Ini bisa berdampak negatif pada kredibilitas influencer dan kepercayaan yang diberikan pengikut kepada mereka.
Contoh lainnya, pengguna media sosial mungkin merasa tidak percaya atau skeptis jika mereka melihat influencer mempromosikan produk atau jasa yang tidak tampak sejalan dengan gaya hidup atau nilai-nilai mereka. Ini bisa membuat pengikut merasa bahwa influencer tersebut hanya mengendorse produk demi mendapatkan kompensasi, bukan karena mereka benar-benar percaya pada produk tersebut.
Rujukan untuk fenomena ini dapat ditemukan dalam berbagai studi dan penelitian tentang pemasaran influencer. Misalnya, sebuah studi yang diterbitkan di Journal of Marketing Management pada tahun 2019 menunjukkan bahwa audiens cenderung merasa jenuh dengan konten influencer yang berlebihan dan tidak otentik, dan hal ini bisa berdampak negatif pada niat pembelian mereka.
Selain itu, sebuah laporan oleh Klear, sebuah perusahaan analisis influencer, menemukan bahwa 47% konsumen merasa 'lelah' dengan konten influencer pada tahun 2020. Laporan tersebut mencatat bahwa ada peningkatan keinginan di kalangan konsumen untuk konten yang lebih otentik dan relevan, dan kecenderungan untuk skeptis terhadap konten yang tampaknya dibuat hanya untuk tujuan komersial.
Untuk mengatasi influencer fatigue, para pemasar dan influencer perlu berinvestasi dalam menciptakan konten yang berkualitas, autentik, dan relevan dengan audiens mereka. Mereka juga harus berusaha untuk membangun hubungan yang kuat dengan audiens mereka, bukan hanya fokus pada jumlah pengikut atau penjualan produk.