Kisah sukses kosmetik lokal, Wardah, memang menarik. Merek tersebut membawa sesuatu yang baru ke pasar kosmetik di Indonesia dengan menyasar konsumen wanita modern berhijab. Sistem pemasaran, khususnya penjualannya, Wardah dibangun dari sisten direct selling dan MLM. Budget iklannya juga minim.
Sekarang Wardah ada di mana-mana. "Wardah merupakan merek pertama di industri kosmetik yang menyertakan klaim halal pada produknya,” kata General Manager Kantar Worldpanel Indonesia Lim Soon Lee dalam rilisnya, Jakarta, Kamis (16/10/2014) lalu.
Cara tersebut berhasil membawa PT Pusaka Tradisi Ibu sebagai salah satu produsen terbaik yang berhasil meraih tingkat pertumbuhan nilai penjualan yang tinggi dibandingkan performa tahun-tahun sebelumnya.
Terlihat melejit sejak lima tahun terakhir, Wardah berkembang menjadi salah satu merek kosmetik terbesar di Indonesia.
Tahun lalu, Nurhayati Subakat, CEO PT Paragon Technology & Innovation (perusahaan holding yang menaungi Pusaka TradisiIbu) mengklaim kinerja produknya mampu melampaui merek Martina Berto, dengan pertumbuhan bisnis mencapai 50%. Kepada Majalah SWA bulan lalu, Direktur Pemasaran Wardah Saman Subakat, memaparkan bahwa tahun ini Wardah berhasil meraih market share kira-kira 30%.
Sepuluh tahun lalu, jangan harap Anda menemui produk kosmetik ini di swalayan maupun toko-toko. Namun jika Anda mengunjungi tempat-tempat media dakwah seperti mejelis taklim atau pengajian untuk wanita muslim, produk kosmetik yang digagas Nurhayati Subakat ini, dengan mudah dijumpai.
Tak aneh bila kosmetika merek Wardah sangat populer di kalangan ibu-ibu pengajian. Beda dengan produk tata rias lain yang tidak membidik konsumen tertentu, Wardah memang memiliki pasar khusus. Maklum Wardah yang mengusung moto kosmetika suci dan aman --tidak mengandung alkohol dan bahan haram lainnya-- ini memang dilempar untuk kaum muslim.
Oleh sebab itu jangan heran apabila rangkaian produk kosmetik -- seperti tata rias, perawatan kulit, perawatan sehari-hari dan perawatan rambut -- yang khas ini, memang lebih mudah dijumpai di lokasi-lokasi yang melibatkan banyak kaum muslimah.
Kesuksesan Wardah di pasaran produk kosmetika yang notebene persaingannya lumayan ketat ini, memang tidak lepas dari kejelian Nurhayati melihat ceruk pasar. "Meskipun para pemain di industri kosmetika ini sudah terlalu banyak, tapi saya masih melihat celah pasar. Karena selama ini saya belum melihat kosmetik yang memposisikan khusus untuk kaum muslimah saja," ungkap Nurhayati.
Hanya populer di kalangan wanita muslim, ternyata bukan soal buat Wardah. Diam-diam angka nominal penjualan Wardah juga sudah menjurus ruarr biasa. "Kini omzet produk Wardah saja sudah di atas Rp1 miliar per bulan," aku Nurhayati. Padahal ketika awalnya dilempar ke pasaran pada 1995 lalu, omzet Wardah masih //memble//, hanya berputar pada Rp200 ribu per bulan.
Strategi membidik target pasar tertentu, belakangan memang bukan satu-satunya faktor kesuksesan produk Wardah di pasaran kosmetika domestik. Jalur distribusi yang tidak terpaku pada satu sistem, boleh jadi faktor berikutnya yang menjadi penentu keberhasilan Wardah di pasaran. "Kami sengaja memakai strategi pemasaran gado-gado," kata Nurhayati membuka resep.
Awalnya Wardah hanya menggunakan sistem tradisional (direct selling). Belakangan lewat sejumlah pertimbangan, pemasaran Wardah juga dilakukan lewat cara semi multilevel marketing (MLM), serta MLM murni. Jadi, untuk urusan distribusi, kini Nurhayati menggandeng Ahad.Net, PT Mutiara Arum Lestari (MAL), dan Ny. Riani di Bandung.
Diakui Nurhayati, strateginya untuk menggunakan cara pemasaran model gado-gado tersebut memang bukan tanpa sebab. Penjualan produk Wardah yang pada awalnya menggunakan cara pemasaran langsung lewat pondok pesantren Hidayatullah, memang rada jeblok di pasaran. "Boleh dibilang gagal," kata wanita yang pernah bergabung dengan Ponpes Hidayatullah ini, dengan serius. "Karena pengalaman itu, saya harus mencari alternatif pemasaran lainnya."
Bertemu dengan sejumlah distributor yang selama ini memasarkan produknya lewat penjualan berjenjang, akhirnya Nurhayati memutuskan untuk melempar produk Wardah lewat jaringan Ahad.Net dan PT MAL. Keduanya memiliki jaringan yang tersebar hampir di seluruh pelosok Indonesia. Itu sebabnya, bisa membantunya memasarkan Wardah hingga ke lokasi-lokasi yang selama ini belum mampu dijangkaunya.
Setelah dipegang Ahad.Net, PT MAL dan Ny.Riani, penjualan produk Wardah memang terbukti mulai terdongkrak. Hal itu memang tak lepas dari peran anggota para distributor. Tengok saja, di Ahad.Net, anggota yang memasarkan Wardah tercatat sebanyak 30 ribu orang, di MAL sebanyak 3.000 orang dan Ny. Riani sebanyak 7.000 orang. Hingga saat ini, Makkasar dan Medan, adalah wilayah yang sangat kuat memberikan kontribusi jika di lihat dari segi penjualan.
Tapi, dikemukakan Nurhayati, meskipun terbukti pemasaran secara multilevel mampu menggelembungkan angka penjualan Wardah, sampai saat ini Wardah juga masih menggarap penjualan langsung. Langkahnya ini didukung oleh empat tim yang terdiri atas delapan orang per tim yang kerjanya berkeliling dengan mobil khusus untuk memasarkan Wardah secara tradisional. "Karena jumlahnya masih terbatas, makanya jangkauannya masih sebatas wilayah Jabotabek dan Jawa Barat," katanya lagi.
Nurhayati menambahkan, pemilik PT MAL yang sekaligus pemilik Ahad.Net yang sama-sama melempar produk Wardah membuat produk buatannya menjadi tidak ekslusif lagi. Itulah sebabnya, Nurhayati melempar produk turunan berlabel Zahra yang membidik kelas menengah dan atas. Meskipun sekarang masih masa transisi, kelak distributor Ahad.Net bakal di posisikan untuk menjual Zahra, dan PT MAL yang menjual merek Wardah secara eksklusif.
Soal promosi, Wardah tampaknya juga tidak mau ketinggalan. Wardah juga promosi di sejumlah acara di televisi swasta. Sesuai dengan misi produknya, Wardah beriklan di acara-acara religius seperti Siraman Rohani, Tasawuf dan Penyejuk Iman. Sepuluh tahun lalu,seperti diakui Nurhayati, belanja iklan Wardah di televisi memang hanya Rp20 juta per bulan yang dialokasikan lewat acara-acara religius.
Berawal dari MLM
Seiring dengan maraknya middle-class moslem dan revolusi hijabers, Wardah muncul sebagai pemain yang tiba-tiba menyeruak mencapai puncak sukses. Iklannya muncul di TV hampir setiap hari, brand ambassador-nya gonta-ganti (dari artis Inneke Koesherawati, penyanyi Dewi Sandra, fashion designer Dian Pelangi hingga penyanyi Tulus). Varian produk dan sub brand-nya pun berkembang pesat.
Padahal sepuluh tahun lalu, tak beda dengan produk lain yang dipasarkan secara berjenjang, kesuksesan Kosmetik Wardah memang tidak terlepas dari peran para penjualnya. Salah seorang peraih Stokis Top Sales, (pencetak penjualan tertinggi), adalah Bendut Satrio Utomo. Meski pria, ternyata ia mampu memasarkan produk kaum hawa yang bersertifikat halal ini. Ayah dua anak yang sudah 10 tahun menjadi pegawai Inspektorat Jenderal Depdiknas ini mulai memasarkan produk Wardah sejak Januari tahun lalu.
Ketertarikannya berawal ketika istrinya termasuk pemakai berat produk Wardah. Sampai suatu ketika, dia berkesempatan menghadiri seminar produk Wardah yang menghadirkan bintang tamu Marissa Haque. "Saya langsung tertarik. Karena usaha ini fleksibel dan dapat dikembangkan karena produknya jelas-jelas halal. Yang jelas juga, untungnya juga lumayan."
Resmi sebagai distributor, Satrio memasarkan produk Wardah kepada keluarga terdekat terutama pihak keluarga istri. Setelah itu melebar kepada teman para anggota keluarga, hingga para tetangganya.
Satrio juga tidak sungkan memasarkan produk Wardah ini kepada kawan-kawannya satu kantor dan ternyata mendapat sambutan yang positif. "Disini cepat habisnya, tapi pesan berikutnya sekitar dua bulan setelah produk itu habis dipakai." Soal penghasilan, Satrio mengaku mendapat hasil yang lumayan. November 2000 lalu, misalnya, Satrio meraih pendapatan sekitar Rp6 juta.
Satrio justru berpikir, kelak dia bakal menjadikan usaha ini justru sebagai usaha utama, bukan nyambi seperti saat ini. Hasil keuntungannya itu, selain untuk mengangkat anak asuh juga untuk diinvestasikan bagi untuk perluasan usaha.