Anda pehobi minum kopi? Ataukah penyuka kopi? Dalam pandangan Jacobs Suchard – peneliti konsumen kopi asal Italia – pehobi dan penyuka itu berbeda. Pehobi kopi adalah konsumen yang mementingkan ritual.
Mereka menampilkan suatu sikap yang menekankan pentingnya nilai energik kopi dan sinergi dengan ritual mengkonsumsi kopi. Bagi mereka cangkir kopi adalah simbol dari terulangnya ritme sehari-hari.
Selain itu, mereka melihat bagi kenikmatan dan rasa kopi terletak padaritualnya itu. Mereka ini berusia 35-44 tahun. Segmen ini mencapai 22 persen dari pasar.
Kalau penyuka kopi? Mereka adalah konsumen yang benar-benar kopi-oriented. Mereka sangat mementingkan efek stimulasi dari kopi (mereka melihat dan memiliki pengalaman mengkonsumsi kopi sebagai tonik untuk fisik dan psikis).
Nilai itu sebanding dengan nilai bersosialisasi yang melekat ketika seseorang mengkonsumsi kopi. Segmen ini paling besar atau sekitar 47 persen dari populasi konsumen kopi sehingga merek sering disebut sebagai target pasar inti. Kisaran usianya 45-54 dan lebih.
Selain dua segmen tadi, adasegmen lain, yakni segmen konsumen yang sadar tentang kesehatan. Konsumen ini besarnya sama dengankonsumen yang menganggap bahwa ritual penting atau sebesar 22 persen dari konsumen kopi.
Mereka ini ditandai dengan kecenderungan untuk mengkonsumsi kopi tanpa kafein. Sikap mereka, bagaimanapun, masih menunjukkan godaan terhadap normal, kopi non-kafein. Ini adalah target pasar yang terdiri dari baik orang muda dan orang dewasa setengah baya yang tinggal di kota-kota lebih besar.
Kelompok keempat adalah konsumen kopi bermasalah. Kelompok konsumen ini memang tidak besar, yakni hanya 9 persen. Mereka menunjukkan sikap yang sangat negatif terhadap konsumsi kopi normal; mereka tidak sepakat pada pendapat bahwa bahwa mengonsumsi merangsang dan meningkatkan kualitas energik. Jadi kalapun mengonsumsi kopi, mereka memilih kopi instan. Kelompok sasaran ini berusia antara 18 dan 34.
Bagi pedagang warung kopi, membidik konsumen memang memerlukan usaha tersendiri. Mereka mencoba menemukan ritual yang membuat konsumen baik agar menjadi lebih berkualitasatau menikmati ritualnya itu sendiri.
Gaya meracik kopi misalnya, menjadi pembeda antara kopi di masyarakat Belitung dengan masyarakat lainnya. Masyarakat Belitung percaya bahwa meracik kopi secara tradisional dapat membuat aroma wangi kopi di Belitung kuat dan hangatnya hasil seduhan kopi bertahan lebih lama.
Air panas untuk menyeduh kopi masih direbus di atas kompor tradisional yang berbahan bakar arang. Hal ini salah satunya ditemukan di warung kopi Kong Djie yang terletak di Jalan Siburik Barat, Kota Tanjung Pandan, Provisi Bangka Belitung (Babel).
Aida (41), salah seorang karyawan warung kopi Kong Djie mengungkapkan, kopi hasil racikannya dapat tetap hangat hingga lebih dari setengah jam. "Kalau pakai kompor gas pasti lain rasanya. Kalau pakai arang, aromanya lebih wangi sama panasnya tahan lama," ujar perempuan yang telah bekerja di warung kopi itu selama hampir 12 tahun kepada ANTARA News.
Aida mengatakan, biasanya setelah air yang digunakan untuk menyeduh kopi mendidih, dia akan menyiapkan racikan kopi bubuk Badau dan arabika. "Satu setengah kilo kopi bubuk Badau dicampur lima sendok makan kopi arabika," kata perempuan yang tinggal di Jalan Baru, Tanjung Pandan itu.
"Setelah air mendidih, masukkan racikan kopi, terus diaduk. Setelah itu diamkan sebentar dan disaring," tambah Aida. Terakhir, lanjut Aida, baru campurkan racikan kopi tadi dengan bubuk cokelat secukupnya.
Dengan ritual seperti itu, pelanggan warung Aida berdatangan setiap pagi di warung kopi sampai sekarang.Padahal, warung kopinya itu telah berdiri selama lebih dari 50 tahun itu. Terutama di hari Jumat, Sabtu dan Minggu. Mereka, kata Aida, umumnya memesan kopi susu, benar-benar hanya paduan antara kopi dan susu, tanpa tambahan gula.
Harga segelas kopi susu di warung yang buka sejak pukul 5.30 hingga 19.00 itu ialah Rp8.000, sementara untuk kopi hitam, Rp7.000. "Kalau yang gelas kecil Rp5.000," kata Aida.