Tidak ada definisi tunggal tentang public relations (PR) maupun public relations strategis (Strategic Public Relations). Maksudnya, ada fenomena PR didefinisikan secara berbeda oleh berbagai praktisi dan akademisi di mana kata "manajemen" adalah kata yang paling umum digunakan.
Grunig dan Hunt (1984, hal 6.) mendefisinikan PR sebagai "manajemen komunikasi antara organisasi dengan publiknya"; sementara Ledingham dan Bruning (1998) mendefinisikan PR sebagai "manajemen hubungan".
Cutlip et al. (2006, hal. 1) berpendapat bahwa PR adalah "fungsi manajemen yang membangun dan mempertahankan hubungan saling menguntungkan antara organisasi dan publik yang mempengaruhi kesuksesan atau kegagalan". Namun demikian, Dozier dan Lauzen (2000) berpendapat bahwa mendefinisikan PR "sebagai fungsi manajemen" adalah mengaburkan fokus pada teori PR khususnya di tingkat organisasi.
Lages dan Simkin (2003) menyebut itu sebagai konseptualisasi public relations tidak berhenti pada satu definisi namun berlangsungterus menerus mengikuti perkembangan jaman. Dunia terus berkembang, begitu juga opini publik; jarum jam dunia PR seakan kutu yang melompat lebih cepat. Itu sebabnya, fungsi PR diperlukan untuk terus mengembangkan opini publik dan, jika perlu, mempengaruh dan memodifikasi mereka (Wells dan Spinks, 1999).
Mengirim pitch berita dan press kit sudah ada sejak awal abad 21. Praktek-praktek seperti ini bersama dengan fenomena terbaru berhubungan dengan melalui media sosial, telah menjadi bagian utama dari "hubungan masyarakat."
Tapi bagaimana kita benar-benar mendefinisikan PR? Pada 2011 Humas Society of America (PRSA) menginisiasi kampanye untuk menjaring suara publik tentang definisi public relations. Hasilnya, public relations didefinisikan sebagai proses komunikasi strategis yang membangun hubungan saling menguntungkan antara organisasi dan masyarakatnya."
Tak sampai dua tahun kemudian, Wendy Zaas, wakil presiden eksekutif di perusahaan PR Rogers & Cowan, percaya bahwa defisini tersebut sekarang menjadi begitu kuno karena tidak membahas integrasi pemasaran dan media sosial sebagai bagian dari disiplin.
PR, katanya, seharusnya tidak lagi berdiri sendiri, karena dunia komunikasi saat ini telah “bercampur” dan menuntut integrasi terbaik tiga disiplin tadi (PR, marketing dan media sosial) dengan strategi cerdas dan kreatif sehingga berdampak positif."
Yang juga hilang dari definisi PRSA itu adalah konsep tentang return on investment. Padahal, ROI sering menjadi tuntutan klien.Intinya pengukuran dengan mempertimbangkan tujuan pemasaran dan strategi pesaing itu sekarang telah menjadi standar. Simak pengalaman Unilever saat meluncurkan es krim Magnum beberapa waktu lalu.
Barangkali ini pertama kali terjadi dalam sejarah pemasaran eskrim di Indonesia. Sebuah merek eskrim—Magnum, dicari-cari konsumen. Tapi hebohnya, eskrim tersebut seolah-olah raib dari pasar. Menurut Meila Putri Handayani, Senior Brand Manager Teens, Adults, & Moo PT Unilever Indonesia Tbk, pemilik merek Magnum, kelangkaan Magnum di pasar ini terjadi semata-mata karena permintaannya jauh lebih besar dari yang diperkirakan. “Kampanye Magnum telah membuat habit konsumen berubah,” kata Meila.
Meila mengatakan bahwa sebenarnya Magnum sudah diproduksi dengan kapasitas besar, namun ternyata hal itu tetap tidak bisa memenuhi demand yang luar biasa paska kampanye itu. Meila melihat fenomena itu sebagai sesuatu yang menggembirakan. “Bayangkan, konsumsi eskrim di Indonesia selama ini sangat rendah (terendah di dunia), hanya setara dua stick perorang per tahun,” katanya.
Kampanye Magnum padaawal 2011, menurut Meila, telah mengubah habit konsumen es krim. “Ada segmen yang tidak terbiasa makan eskrim akhirnya masuk dalam kategori konsumen.” Mereka itu, kata Meila, adalah konsumen dari segmen usia lanjut, seperti nenek-nenek, yang ikut memperlebar pasar.
Demam Magnum ini, kata Meila, adalah buah dari kampanye yang sudah direncanakan sejak dua tahun lalu. “Kami memang mematangkan konsepnya dahulu,” katanya sambil menambahkan bahwa eksekusi yang baik biasanya 90% berkat perencanaan yang matang. Perencanaan ini, katanya, termasuk riset pasar.
Riset kepada konsumen menunjukkan bahwa ada kesempatan buat Unilever untuk menggarap segmen dewasa, mengingat segmen ini belum “terjamah” produk es krim. Dan dari riset pula diketahui bahwa segmen dewasa ternyata menggemari produk premium. Temuan menarik lain, orang dewasa mengonsumsi eskrim untuk mendapatkan kepuasan. “Dan kami menginterpretasikan kepuasan itu setara dengan cita rasa cokelat,” kata Meila. Maka kemudian Magnum memulai perjalanan barunya dengan mengaitkan brand ini dengan imaji kualitas cokelat Belgia.
Langkah selanjutnya, kata Meila, adalah mengemas strategi komunikasi dengan penekanan pada perlakuan manis ala putri raja, pemanjaan, dan pemenuhan fantasi yang penuh dengan pelayanan. “Maka lahirlah TVC dengan konsep putri kerajaan itu.” Meila menambahkan bahwa target komunikasi TVC itu pada awalnya adalah perempuan, khususnya yang berusia 25-35 tahun. Namun dia tak menampik jika TVC itu bisa menarik segmen umum pada usia 18-45 tahun.
Meila menilai keberhasilan Magnum adalah karena menggunakan strategi komunikasi 360 derajat, dan memaksimalkan semua media. “Sebagai komunikasi yang terintegrasi, pesannya sama, yaitu “Magnum will indulge you like a princess,” katanya. Hal ini menjadi benang merah dari semua komunikasi yang digunakan, termasuk TVC, dan on-ground activity.
Namun, satu hal yang membedakan Magnum dengan merek lain, adalah Magnum sangat fokus pada produk karena, kata Meila, dalam mengemas produk, marketer terlalu berlebihan mengemas cerita. “Pada Magnum, product has to be the hero,” katanya. Meski tidak merinci besarnya nilai penjualan Magnum, Meila mengaku sangat puas. “Dari skala 1 sampai 10, nilai kepuasan kami 8,” katanya sambil tersenyum
Pada penghujung 2012, Unilever melalui brand es krim premium-nya, Wall's Magnum, kembali begitu garang melakukan kampanye marketing di berbagai media mulai dari print ad, TV Commercial (TVC) yang disutradarai Bryan Singer, hingga menggunakan endorser sekelas Benicio Del Toro dan Caroline Correa. Mengusung varian terbaru, yaitu Magnum Gold, Unilever memfokuskan diri meluncurkan strategi komunikasinya secara serempak di seluruh channel pemasaran dan tidak terkecuali lewat sosial media seperti Twitter.
Oky Andries, Brand Manager Wall’s Magnum mengatakan, antusiasme terhadap varian baru ini muncul di setiap Negara. “Antusiasme pun terlihat di social media milik Magnum @MyMagnumID, dimana para penggemar Magnum menunggu kehadirannya di Indonesia, bisa dilihat di Twitter, banyak orang yang membicarakan” ungkapnya.
Mengandalkan populasi follower yang mencapai 54.894 dan ditambah rata – rata intensitas 6 – 7 tweets per hari, Magnum Gold saat itu ingin terus membangun brand awareness. Konten yang disuguhkan pun turut diperhatikan secara detil dan tidak jauh dari tips seputar es krim, gaya hidup dan kesehatan, greetings, hingga quiz. “Lewat Twitter kami ingin engaged dengan 'pleasure seeker' kami – sebutan penikmat es krim magnum.”
Intensitas penggunaan twitter oleh Magnum dirasakan sangat efektif dan sesuai dengan target market produk ini, segmen middle dan middle up. “komunikasi yang dilakukan waktu itu menggunakan media digital, twitter – sosial media memang menjadi salah satu pilihan karena informasi yang cepat tersebar.” cerita Oky
Klimaksnya adalah ketika Magnum Gold benar – benar hadir di Indonesia. Sebelum peluncurannya di Magnum Cafe pada 13 September 2012 lalu, promosi diawali dengan pemberitahuan di official account Twitter milik Magnum. Hasilnya follower akun Magnum itu ramai memperbincangkan kedatangan Magnum Gold.
Mereka saling merekomendasikan produk Magnum kepada teman maupun keluarganya sehingga saat itu dalam sekejap Magnum menjadi trending topic worldwide. Apalagi saat acara peluncurannya dihadiri oleh sejumlah artis dan sosialita. Dengan kata lain Magnum berhasil menciptakan viral word of mouth Magnum Gold lewat Twitter.
Gamabarn itu mengukuhkan bahwa Facebook, Twitter, blog, dan media sosial lainnya telah mengubah hubungan antara anggota masyarakat dan orang-orang yang berkomunikasi dengan mereka. Proses public relations digunakan dengan dimensi tunggal, yakni teori menyaring informasi dari bawah. Tetapi masa depan PR sekarang menjadi konglomerasi, terutama difokuskan untuk memfasilitasi percakapan yang sedang berlangsung sambil tetap di garis depan inovasi dalam arena komunikasi.
"Sekarang tidak ada lagi yang namanya 'media tradisional," kata Tim Tessalone, direktur informasi olahraga USC seperti dikutip Jarone Ashkenazi di fastcompany.com. "Dengan siklus berita 365/24/7 dan dengan berbagai platform media (termasuk media sosial) sekarang yang tersedia untuk wartawan dan non-wartawan, praktisi PR harus tidak hanya tetap waspada, tapi harus proaktif dan progresif."
Dalam beberapa waktu terakhir, mncul terminologi baru dalam leksikon public relations. Istilah seperti content marketing dan earned media sering digunakan sebagai pengganti istilah public relations. Ada istilah Storytelling atau Brand Journalism yang kini sudah menjadi praktek yang lazim di banyak perusahaan. Brand journalism menceritakan kisah yang berhubungan dengan keahlian merek Anda. Metode ini sangat berharga, karena melibatkan audiense. Karena itu, mendorong mereka untuk tertarik untuk mempelajari lebih lanjut tentang merek Anda.
Ada juga istilah visual media dan marketing. Dalam kosnsep ini Kampanye PR tidak lagi hanya dinilai dari banyaknya tayangan, sehingga pemanfaatan multimedia sangat penting. Media visual seperti YouTube, Facebook, dan Vine dinilai lebih relevan dalam menentukan keberhasilan keberhasilan kampanye PR. Ini karena praktisi PR harus memposisikan klien mereka agar bisa menjadi Lady Gaga atau tren. Selain itu, agar efektif, setiap kampanye PR harus didukung oleh strategi penjualan dan pemasaran yang tepat.
Belakangan juga munculkan kosa kata baru yang disebut Niche-influencer. Ini sejalan dengan perkembangan teknologi yang membuat hilangnya konsep satu teknologi atau satu penulis bisnis atau editor dalam media. Setiap kategori telah pecah menjadi beberapa subkategori - misalnya di bawah bisnis ada subdivisi untuk kewirausahaan, usaha kecil, bisnis internasional, dll .-- dan sangatlah penting bagi praktisi PR untuk menjangkau niche influencer ini agar pengenalan merek bisa tumbuh efektif.
Public relations tidak lagi hanya berbicara tentang dan memanfaatkan media tradisional. Saat ini, public relations bisa kokoh karena dibangun di atas media tradisional dan strategi PR digital, dicampur dengan keterlibatan sosial (social media, blogging, dll), merek jurnalisme, kepemimpinan gagasan, strategi SEO, dan strategi konten, dan sebagainya. PR masa depan melihat meningkatnya peluang praktisi PR untuk menyebarkan pesan klien mereka begitu PR berkembang dan menciptakan kembali dirinya sendiri bersama dengan era media sosial.
Bila PR dulu selalu dan akan selalu berbicara tentang pengembangan konten dan manajemen, dalam lanskap multi-layar seperti sekarang, terdapat teknologi inovatif yang bisa dimanfaatkan untuk menciptakan dan menyebarkan konten. Saat ini, menurut Muck Rack, 92% wartawan lebih menyulai pengiriman bahan press melalui email. Sekarang, Anda juga bisa men tweet siaran pers Anda ke influencer yang ditargetkan dan mengomentari tren pasar di forum dan blog.
"PR sekarang telah menjadi pilihan cara eksekutif memposisikan dirinya sebagai otoritas dalam industri mereka. Menggunakan pendekatan multi-platform, pimpinanperusahaan dapat mengomentari tren berita untuk menjaga diri mereka sendiri dan perusahaan mereka saat perusahaan atau bisnis mereka menjadi pembicaraan di media, terutama media sosial, "kata Ola Danilina, CEO dan pendiri PMBC Group.
Ruang lingkup peluang bagi PR kininmeningkat. Karena itu profesional PR harus terus mengadopsi ide-ide atau gagasan dan menerima inovator. Agensi mungkin saja masih menguasai fakta-fakta tetapi mereka tetap harus bekerja sama dengan pihaklain seperti influencer dan blogger, sehingga mereka tidak menghadapi serangan balasan dari influencer tadi.
Pada intinya PR-nya masih tentang cerita tengan kehebatan tetapi masa depan PR adalah tentang menciptakan pengalaman yang bisa dibagi. Hanya mengukur liputan media adalah cara masa lalu. Profesional PR sekarang harus menargetkan untuk melibatkan audiense klien mereka dan menjadikan mereka sebagai bagian dari siklus berita.