Juli 2014 lalu tersiar kabar bahwa PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) mengembangkan bisnisnya dengan memasuki bisnis popok bayi sekali pakai (diapers). Untuk menggarap bisnis ini, ICBP mendirikan joint venture dengan perusahaan asal Jepang, Oji Holdings Corporation.
Pihak ICBP masih belum mengkonfirmasi merek atau produk yang akan dipasarkan. Namun, hal ini mencerminkan bahwa Indofood nampaknya masih tergiur dengan pasar diapers tersebut. Menurut Nielsen Consumer Panel Services, meski nilai bisnis produk diapers tercatat lebih kecil dibandingkan susu bubuk yang mencapai Rp 9,8 triliun, pertumbuhannya tercatat paling tinggi, yaitu mencapai 26,2% per tahun, diikuti susu cair (UHT) 20,7% -- produk yang juga digarap Indofood.
Mengapa pertumbuhan diapers demikian pesat, bahkan terpesat? Alasannya sederhana bahwa anak memang menjadi prioritas utama dalam belanja rumah tangga dengan anak berumur di bawah tiga tahun (batita). Dengan pola belanja mereka, nilai bisnis produk batita di Indonesia pada tahun ini mencapai sekitar Rp 21 triliun, di mana hampir Rp 15 triliun di antaranya merupakan belanja untuk produk susu bubuk dan baby diapers. Angka ini meningkat signifikan, di mana pertumbuhan tertinggi terjadi pada produk baby diapers dan susu cair (UHT).
Survei Nielsen Consumer Panel Services (Nielsen Homepanel) terhadap konsumen Indonesia dengan anak batita menunjukkan bahwa seperlima atau 20% belanja barang konsumsi (FMCG) mereka adalah untuk keperluan batita mereka.
Studi tracking aktual (bukan berdasarkan klaim) pola belanja FMCG responden pemilik batita ini dilakukan setiap hari sehingga diharapkan bisa memberikan gambaran terhadap perubahan pola belanja mereka ketika dipengaruhi oleh berbagai kegiatan marketing (peluncuran brand baru, promosi, dan lain-lain).
Tracking sampai September 2012 menunjukkan bahwa susu bubuk menempati urutan pertama dalam pengeluaran keluarga pemilik batita—yaitu rata-rata mencapai Rp 1.003.000 per rumah tangga per tahun, diikuti dengan pengeluaran untuk popok bayi sekali pakai (baby diapers) Rp 336.000, lalu untuk susu cair (UHT) Rp 109.000, baby toiletries Rp 43.000, dan hanya Rp 32.000 untuk baby food. Secara total, rata-rata belanja mereka untuk kebutuhan batita Rp 1,5 juta per rumah tangga per tahun atau mewakili 20% dari total belanja FMCG.
Meski nilai bisnis produk diapers pada 2012 ini tercatat lebih kecil (Rp 4,6 triliun) dari susu bubuk (Rp 9,8 triliun), pertumbuhannya tercatat paling tinggi, yaitu mencapai 26,2% per tahun, diikuti pertumbuhan susu cair (UHT) 20,7%, dan baby toiletries 10, 7%. Sedangkan bisnis susu bubuk hanya tumbuh 5,1%.
Dalam acara Nielsen Press Club pada akhir November lalu, Hellen Katherina, Director Consumer Panel Services Nielsen Indonesia, mengemukakan bahwa pertumbuhan konsumsi popok sekali pakai didorong oleh konsumen kelas menengah dan bawah. "Dari 5.600 panel, ada 27% yang memiliki anak usia 0-3 tahun. Pertumbuhan popok ini berasal dari kelas menengah dan bawah, sedangkan kelas atas sudah dari dulu pakai popok, jadi popok bukan barang baru lagi bagi mereka, sehingga pertumbuhannya di segmen ini cenderung stagnan," ujar Hellen.
Lebih lanjut Hellen menjelaskan bahwa kini semakin banyak konsumen dari rumah tangga kelas menengah yang membeli popok sekali pakai. Frekuensi pembelian mereka juga semakin tinggi—dengan kecenderungan pembelian untuk kemasan kecil.
“Kepraktisan menjadi faktor utama dalam pemilihan popok sekali pakai bagi konsumen dari kelas menengah dan bawah. Hal ini terlihat dari tingginya penggunaan popok sekali pakai bentuk celana (pant diaper) dibandingkan dengan penggunaan popok sekali pakai bentuk terbuka (open diaper). Sebaliknya, pada konsumen dari kelas atas, penggunaan open diaper sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan pant diaper,” tuturnya.
Hellen menambahkan, ketersediaan pant diaper dalam kemasan kecil atau mini packsize berpengaruh cukup signifikan pada pertumbuhan penjualan produk ini. “Dengan pant diaper, konsumen mendapatkan solusi praktis untuk kebutuhan popok sekali pakai. Sementara mini packsize memberikan solusi untuk berhemat. Konsumen tidak perlu melakukan pembelian langsung dalam jumlah banyak dengan perbedaan harga yang besar," jelasnya.
Tingginya penggunaan popok sekali pakai ini juga didukung oleh ketersediaan kemasan kecil hingga ke general trade (outlet tradisional). "Dominasi pembelian mini packs di kalangan menengah dan bawah bisa jadi karena ketersediaan barang tersebut yang sudah merambat ke general trade seperti warung dan toko," tambahnya.