The Millennial Man

millennial man
Penelitian perilaku belanja tahun ini memberikan konfirmasi bahwa perilaku belanja masyarakat – terutama dilihat dari peran gender -- saat ini mengalami perubahan yang cukup signifikan. Apa saja?

Pemasar yang selama ini secara tradisional menganggap perempuan sebagai target market utama mereka, sudah saatnya berpikir tentang demografi baru: Millennial Man. Mereka bukan pahlawan, tetapi menurut sebuah laporan terbaru yang disebut sebagai millennial man kini punya kekuasaan.

Laporan eMarketer menunjukkan bahwa laki-laki muda semakin senang menyebarkan ritual belanja busana mereka melalui media social, suatu kebiasaan yang sebelumnya dianggap sebagai daerah yang didominasi perempuan.

Jadi, siapa yang dimaksud dengan Millennial Man? Definisinya bervariasi. Tetapi menurut definisi yang diterima secara luas, milenium man mewakili kelompok konsumen yang masuk usia 30-an tahun.

Menurut laporan itu, millennium man saat ini berpendapatan lebih besar dan lebih merasa bahagia di tempat kerja mereka daripada rekan-rekan mereka yang perempuan.

Mereka haus akan hiburan-biasanya dalam bentuk digital-dan proporsi yang tinggi dari mereka adalah pengguna smartphone. Mereka menyukai kenyamanan yang menawarkan belanja digital atau mobile. Mereka juga semakin sering menggunakan gadget mereka itu untuk berbelanja.

Survey yang dilakukan DDB Worldwide pada Januari 2013 terhadap pengguna internet di AS, menunjukkan beberapa kecenderungan menarik tentang meningkatnya pengaruh pembeli laki-laki berusia antara 18 dan 34.
43% mengatakan biasanya berbelanja di situs lelang. Bandingkan dengan perempuan yang cuma 31%. 40% mengatakan, idealnya, mereka membeli segala sesuatu secara online (33% perempuan)
30% mengatakan mereka menggunakan aplikasi mobile shopping (28% perempuan)
27% biasanya menggunakan aplikasi toko ritel (24% perempuan)
25% telah meminta harga yang cocok melalui smartphone mereka (21% perempuan)
24% biasanya berbelanja dan membeli melalui perangkat mobile mereka (19% perempuan)

Dalam beberapa tahun terakhir terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam pola demografi Indonesia. Kalau tahun-tahun sebelumnya sex rasio perempuan pembelanja lebih tinggi dari lelaki, sejak 2010 lalu secara nasional, berdasarkan Sensus Nasional, sex ratio Indonesia 101. Artinya terdapat 1% lebih banyak pria daripada wanita.

Fenomena baru lainnya adalah pergeseran gender dalam pola berbelanja. Tiga tahun lalu, survey yang dilakukan Nielsen Shopper Trends mendapati, lelaki Indonesia kini makin menyukai berbelanja.

Kalau tahun lalu 74 persen dari pembelanja utama masih wanita, kini semakin banyak pria mengambil peranan tersebut. Saat ini, satu dari empat pembelanja utama (mereka yang melakukan belanja rumah tangga) adalah pria, naik jika dibandingkan 19 persen pada tahun 2010.

Hal ini mengarah ke stereotip gender, meski sampai sekarang baik pria dan perempuan mengasosiasikan belanja sebagai aktivitas feminin atau menganggapnya sebagai “tugas perempuan”.

Peningkatan partisipasi pria dalam kegiatan belanja ini sekaligus mencerminkan tren dimana pria mengasumsikan peran yang lebih egaliter dalam menghadapi tekanan yang meningkat untuk berbagi tugas belanja.

Perkembangan ketiga, makin banyaknya perempuan yang melajang, meski sebenarnya dari sisi usia sudah layak untuk berumah tangga. Dari tahun ke tahun, presentase wanita yang melajang makin meningkat seiring waktu.

Pada 1980 sebanyak 31% wanita yang belum menikah di usia dewasa (20 tahun ke atas), dan jumlah tersebut meningkat menjadi 33% pada 1990. Secara absolut, selama periode 1980-1990 terdapat kenaikan penduduk wanita yang belum menikah sebanyak 6,5 juta orang.

Pertanyaannya adalah benarkah gaya belanja antara lelaki dan perempuan itu berbeda. Hasil penelitian mengindikasikan pola belanja perempuan dan lelaki bisa diringkas menjadi Men Buy and Women Shop.

Ibaratnya, ketika datang untuk berbelanja, perempuan ibarat datang dari Nordstrom dan laki-laki dari Sears. Pembelanja perempuan senang berliku-liku namun polanya jelas.

Yang dituju pertama kali adalah lokasi yang memajang koleksi pakaian dan aksesori atau memutar melalui bagian sepatu. Mereka juga tidak pernah melewatkan kesempatan untuk melewati jalur dimana para SPG menyemprotkan sample parfum.

Sementara itu pembelanja lelaki, jelas misinya yakni membeli barang yang ingin dibelinya. Begitu masuk ke tempat belanja, mereka langsung ke lokasi barang yang ditarget, dan begitu menemukan barangyang diinginkan, membeli dan keluar mal.

Namun demikian, umumnya laki-laki memang menghabiskan waktu belanja kurang dari wanita. Tetapi, ketika berbelanja, lelaki cenderung menghabiskan lebih banyak uang daripada wanita.

Perbedaan pola dan gaya belanja lelaki dan perempuan tersebut, menurut Profesor Daniel Kruger dari University of Michigan, bisa menjadi jawaban mengapa sering terjadi konflik ketika pasangan berbelanja bersama-sama.

Namun temuan menyebutkan bahwa berbelanja membuat sesuatu yang mengasyikkan bahwa untuk mereka yang “sendiri” maupun berpasangan. Dalam konteks ini, seperti kata Kruger, temuan ini juga dapat membantu pasangan menghindari perselisihan di toko manakala pasangan berbelanja.

Pertanyaan kedua, benarkah pola belanja yang lajang dan menikah atau berpasangan itu berbeda? Pertanyaan yang kedua makin relevan manakala melihat kemampuan membeli mereka yang masih lajang itu juga rata-rata cukup besar.

Lebih dari 35% diantara mereka berpengeluaran di atas Rp 2 juta per bulan. Selain itu, lebih dari 22% memiliki rumah sendiri. Ini mengimplikasikan bahwa mereka juga “mengurus” rumah sehingga bersentuhan dengan layanan public seperti PLN dan sebagainya.

Penelitian yang dilakukan MARS memberikan gambaran bahwa saat berada di toko peralatan rumah tangga, diperoleh gambaran bahwa waktu belanja rata-rata yang dibutuhkan oleh kelompok wanita yang belanja dengan teman wanita biasanya menghabiskan waktu minimal 8 menit, 15 detik untuk memilih suatu produk, sementara wanita dengan anak-anak umumnya menghabiskan waktu 7 menit, 19 detik. Lalu untuk perempuan sendiri, butuh waktu cuma 5 menit, 2 detik.

Implikasi dari perubahan ini adalah tuntutan untuk memikirkan ulang segmentasi dan targeting pasar. Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa produsen kini mulai sadar bahwa pemasaran berbasis gender kini makin terasa penting.

Ambil contoh, kalau kita lihat di rak-rak supermarket atau hypermarket misalnya, makin banyak produk atau merek yang sengaja membidik pasar lelaki. Bahkan ada yang jelas-jelas mengklaim sebagai produk untuk lelaki, ExtraJoss misalnya.

Temuan ini juga mengukuhkan asumsi bahwa ada perilaku primitive dalam berbelanja yang sampai saat ini terus bertahan. Seperti diketahui, dalam masyarakat pra sejarah, mencari makan merupakan kegiatan sosial sehari-hari. Disini seringkali melibatkan anak-anak.

Di era sekarang, anak-anak juga dilibatkan dalam berbelanja. Kedua, pembelanja perempuan juga memperoleh pembelajaran dan keterampilan mendapatkan makanan berkualitas terbaik.

Ketika mengumpulkan makanan misalnya, perempuan pra sejarah memilih berdasarkan warna , tekstur dan aroma yang tepat. Sekarang, kalau Anda memperhatikan bagaimana pembelanja memilih makanan, tak akan jauh berbeda. Konsumen memilih warna , tekstur dan aroma yang tepat untuk memastikan keamanan dan kualitas pangan.

Fenomena menarik lainnya dari perkembangan demografis ini adalah konsumen laki-laki lebih cenderung mencari informasi dari teman daripada orang lain.

Akan tetapi, meski bertanya kesana-kemari, yang paling besar adalah pengaruh pasangannya. Dalam membeli obat-obatan misalnya, konsumen lelaki menyebut pengaruh terbesarnya memang dirinya sendiri. Akan tetapi, ketika harus memutuskan membeli produk, lelalki cenderung menyerahkan ke orang lain.

Temuan ini mengkonfirmasikan bahwa konsumen laki-laki tidak memilih pakaian mereka sendiri. Yang paling sering terjadi adalah istri, ibu, atau teman-teman wanita yang diandalkan yang paling sering melakukannya bagi mereka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)