Pekan lalu, saya menerima email dari konsultan public relations kelas dunia, langsung dari Singapura. Mereka mengirimi saya release kampanye sosial yang dilakukan oleh salah satu merek food and beverage yang namanya tidak asing bagi saya karena saya juga pengguna merek tersebut. Rupanya beberapa kali dia menelpon saya dan kebetulan. Bahkan dua minggu sebelumnya dia mengirim pitch melalui WA tentang merek tadi tanpa menjelaskan materinya.
Baru pekan lalu mereka kirim email release tentang kampanye sosial itu. Isinya menggunakan bahasanya Inggris. Begitu saya menerima email itu tersebut saya mencoba merenung, meski pemilik merek tersebut perusahaan global, tapi merek yang melakukan kamapnye sosial itu adalah merek lokal dan dipasarkan – kalau tidak semua, mungkin sembilan puluh koma sekian -- di Indonesia. Intinya sebagian besar konsumennya adalah orang Indonesia. Ini juga berarti bahwa target audience dari informasi berbahasa Inggris yang dirim itu adalah untuk audience Indonesia.
Saya segera membalas email itu dengan usulan bagaimana kalau release itu dibuat dalam bahasa Indonesia. Saya tegaskan dalam email saya itu bahwa bukan karena apa-apa, melainkan karena tuntutan pekerjaan yang membutuhkan kecepatan. Apalagi bila release itu juga disebarkan media berita yang membutuhkan kecepatan tayang. Intinya, para awak media itu berlomba untuk lebih dulu menayangkan suatu informasi (release tadi misalnya). Bayangkan dalam situasi persaingan media dotcom seperti itu, para awak media tersebut masih dibebani dengan menghabiskan waktunya untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.
Lima belas tahun lalu, Gerald R. Baron menulis dalam bukunya yang berjudul Now Is Too Late: Survival in an Era of Instant News (Financial Times Prentice Hall, 2002) aktivitas public relations tidak lagi memiliki kemewahan waktu. Bahkan selama konflik Vietnam sekalipun, peliput perang saat itu berlomba secepatnya mengirimkan laporannya ke newsroomnya. Dari newsroom kemudian berita disiarkan. Saat itu masih ada semacam gatekeeper-nya
Ketika operasi Desert Storm tahun 1990an, CNN melaporkan langsung dari lapangan melalui satelit. Pemirsa pun bisa menyaksikan langsung peristiwa yang diliputnya. Pada peristiwa 9/11, laporan dan aktivitas terjadi secara kontemplatif. Siapa pun yang memiliki akses ke internet dapat mengungkapkan pendapat sebagai fakta - dan dapat melakukannya dengan cara yang terlihat kredibel. Mengamati, seperti yang telah dilakukan orang lain, berita itu semakin tidak lagi dibatasi oleh waktu sehingga muncul adegium jadilah media yang pertama yang menyiarkan berita. Katakan pada orang sebelum mereka mengetahui. Para reporter online sekarang bisa langsung mengirim dan menayangkannya beritanya secara langsung pada situs beritanya.
Beberapa waktu lalu, saya membaca buku WTF?: What's the Future and Why It's Up to Us karya Tim O’Reilly. Buku ini salah satunya memaparkan tentang dampak teknologi. Menurut dia, teknologi mungkin mengambil alih pekerjaan manusia, yang sekaligus menciptakan pekerjaan baru. Jadi teknologi bisa membunuh profesi tetapi tidak membunuh pekerjaan yan dilakukan oleh profesi itu.
Dalam tiga dekade ini public seakan dibanjiri dengan kematian dari perangkat komunikasi pemasaran bahkan marketingnya sendiri. Masih ingat dalam pikiran kita, tulisan Bill Lee yang berujudul Marketing Is Dead yang dimuat di Harvard Business Review pada 2012. Sepuluh tahun sebelumnya, Al Ries dan Laura Ries meluncurkan buku laris The Fall of Advertising & the Rise of PR. Tahun 2016 lalu, saya membaca yang membuat resensi buku berjudul Trust Me, PR is Dead karya Robert Phillips (Unbound, 2015).
Pertanyaannya apakah karena inovasi yang mendisrupt bisa membuat profesi public relations bakal mati? Realtitasnya, yang dikatakan “mati” itu masih menjadi andalan dalam komunikasi pemasaran. Memang harus diakui bahwa setiap organisasi selalu menghadapi tantangan besar untuk bisa mengelola perubahan internal dan eksternal secara efektif. Agar bisa bertahan di tengah arus perubahan lingkungan yang semakin dinamis, perusahaan harus terus-menerus melakukan perubahan strategi, struktur, proses, dan budaya dan melakukan adaptasi secara cepat.
Pergeseran digital dan pergeseran media yang berkembang saat ini memaksa agen-agen PR untuk beradaptasi. Media berita tradisional bermunculan menjadi mesin berita digital, menghasilkan lebih banyak konten dan penyiarannya jauh lebih lebih daripada sebelumnya. Pada saat yang sama, konten ini lebih ringkas dan dibuat dengan khalayak yang sadar akan media sosial. Platform media bergerak jauh lebih cepat daripada kecepatan agensi tradisional, dan saya memprediksi agensi yang tidak berubah bisa dipastikan bakal mati.