Raising of Social Customer

social customer
Tren-terbesar saat ini mobile web, media sosial, real-time, membangun lanskap konsumen baru.
Selama bertahun-tahun, layanan pelanggan telah sesuatu yang paradoks dalam organisasi. Sejatinya, kata layanan pelanggan sendiri mengilhami sebuah dedikasi untuk membantu orang. Sementara layanan pelanggan sudah menjadi tekad profesional layanan pelanggan di seluruh dunia, tapi di sisi lain layanan pelanggan sebagai item akuntansi bisnis sering ditempatkan dalam kolom outsourcing tangan organisasi, kualifikasinya di bawah rata-rata.
Lihat saja, siapa yang menjadi petugas kebersihan dalam suatu kantor, siapa yang menjadi petugas layan antar, siapa yang bertugas melayani calon pembeli saat mengunjungi pameran, dan sebagainya. Mereka adalah bukan orang-orang dari perusahaan bersangkutan melainkan di”sewa” dari perusahaan penyedia jasa layan antar.
Fenomena lainnya adalah pelayanan dilakukan sendiri dan tanggung jawab seakan di tangan pelanggan secara langsung melalui konsep self-service atau otomatis teknologi. Lihat layanan ticketing di jalamn tol, parkir (kalau Anda misalnya ke Mal Taman Anggrek, Jakarta, perhatikan apakah ada petugas yang menjadi tempat Anda bertanya bila Anda kelupaan lokasi parker atau arah lokasi parker), minimarket dan sebagainya, Tujuan dari semua itu adalah meningkatkan profitabilitas melalui upaya menekan biaya.
Prediksi eMarketer mengatakan bahwa 29% dari total penduduk Indonesia atau sekitar 72,2 juta akan memasuki internet di penghujung tahun 2013, rata-rata penetrasinya akan naik menjadi 39,8% pada tahun 2016 atau kurang lebih 102,8 juta. Namun demikian pengguna internet masih terfokus di kota-kota besar Indonesia.
Belakangan, muncul fenomena segmen pelanggan baru yang disebut dengan pelanggan social (social customer). Sejatinya, segmen pelanggan baru ini bukan dampak langsung dari media social, namun karena perubahan karakter dari pelanggan itu sendiri yang mengubah lansekap bisnis.
Sebab, seperti kita ketahui, media social sejatinya dibangun untuk interaksi social, untuk keakraban – khususya melalui percakapan. Namun, karena melihat potensi dan pertumbuhannya yang spektakular, konsumen dan para pebisnis meanfaatkannya untuk aktivitas perusahaan, terutama pemasaran.
Ini sekaligus menandai bahwa era pelanggan pasif telah lewat. Saat ini pelanggan social memiliki banyak amunisi berupa kata-kata dan gambar untuk dikomunikasikan ke orang lain. Pelanggan social yang umumnya hyper-connected, kreatif dan kolaboratif, selalu terhubung dengan lingkaran social dan professional melalui telepon, sms, Facebook, Twitter, blog dan forum.
Para pelanggan sosial inikritis terhadap iklan atau komunikasi yang dibangun oleh merek, lebih bisa dipengaruhi oleh teman, keluarga atau lingkaran social mereka ketimbang oleh perusahaan atau merek. Mereka ingin dan akan berusaha keras memastikan suaranya bahwa suaranya didengar perusahaan atau merek. Yang mereka inginkan adalah perusahaan atau merek menyesuaikan produk-produknya sebagaimana miliknya.
Seperti diketahui, para pengguna Facebook atau Twitter bukan saja perorangan. Banyak perusahaan atau merek yang memanfaatkan Facebook atau Twitter. Mereka ingin berkomuniasi dengan para pelanggannya atau prospek. Meski yang terjadi kebanyakan adalah komunikasi satu arah. Oktober 2011 lalu, Socialbakers merilis hasil penelitian mereka tentang interaksi pelanggan di Facebook. Mereka menemukan, 95 persen dari jumlah postingan di wall Facebook merek, tidak dijawab.
Simak pengalaman Anda, pernahkah Anda mendapatkan respon kurang dari 30 menit ketika Anda mengeluhkan sesuatu tentang merek melalui Twitter atau Facebook atau media sosial lainnya? Jangankan yang melalui media sosial, yang dikirim ke alamat email yang disediakan saja jarang mendapat respon kurang dari 30 menit misalnya.
Apa jadinya bila itu terjadi? Bisa diasumsikan, ketika postingan itu tidak dijawab, akan meninggalkan perasaan negatif pada mereka yang memposting pesan tersebut. Bila mereka memiliki pengalaman negatif, kecenderungannya adalah mereka akan menyebar luaskan perasaannya atas pengalamannya itu.
Selama ini media social sering dianggap hanya sebagai saluran komunikasi. Padahal, makna sebenarnya dari social media adalah membuat sesuatu menjadi lebih social. Sepintas, jejaring sosial hanyalah platform bagi seseorang untuk berhubungan dengan teman, keluarga dan teman sebayanya.
Bisnis sendiri tidak secara langsung mendapatkan manfaat dari suatu koneksi social tersebut. Akan tetapi mereka bisa mendapatkan keuntungan setelah mereka menyadari bahwa ketika seseorang mengklik “like” di akun Facebook atau mem- “follow” akun Twitter milik sebuah merek, pada dasarnya bukanlah sekadar komunikasi pemasaran.
Setidaknya ini bisa dibuktikan ketika Juni 2011 silam, ExactTarget mempublikasikan sebuah studi pada pengguna Facebook. Hasilnya, menunjukkan perbedaan antara bagaimana merek dan konsumen menafsirkan suatu kesukaan (liking). Sebagai contoh, ketika Anda mendengar kata “fans”, konotasinya adalah kesetiaan, advokasi, dan passion yang ada di pikiran. Tapi, bagi banyak konsumen, mengklik “Likes” bukanlah suatu kegiatan biasa melainkan suatu refleksi dari suatu bentuk dukungan. Dalam beberapa kasus, gesture ini hanyalah langkah untuk mengambil keuntungan dari sebuah kontes, penawaran atau promosi.
Menurut ExactTarget, hanya 42% dari pengguna Facebook aktif melihat orang menyatakan atau mengklik "Like" sebagai pernyataan kesetiaan atau dukungan mereka. Di sisi lain , 33% tidak setuju dengan interpretasi yang menyamakan “Like” dengan fandom. Sedangkan 25% lainnya ragu-ragu atau tidak cukup yakin dengan apa yang ada dalam pikirannya. Fandom adalah sebuah istilah yang digunakan untuk penggemar yang mengabdikan bagian dari kehidupan mereka untuk mengikuti atau mengagumi orang tertentu, kelompok, atau tim.
Perusahaan memanfaatkan Twitter dan Facebook untuk membangun hubungan baik dengan konsumen mereka. Ketika seseorang memilih untuk memfollow di Twitter atau memilih fans di Facebook, mereka melakukan itu dengan asumsi bahwa dari waktu ke waktu, mereka akan menjadi bagian dari atau mendapatkan pengalaman berharga atau sesuatu yang berharga lainnya, misalnya mendapat keistimewaan dalam pembelian (diskon) dan sebagainya.
Setidaknya, mereka merasa ada saluran khusus untuk koplain misalnya. Harapan itu semakin meningkat setiap hari. Setidaknya ketika dia ingin berinteraksi -- termasuk komplain atau menanyakan sesuatu misalnya -- mendapat respon yang cepat.
Menurut penelitian dari Mei 2011 InboxQ, konsumen lebih suka menggunakan Twitter untuk menanyakan sesuatu kepada suatu merek dari pada menggunakan telepon misalnya. Studi lain yang dilakukan menemukan bahwa mayoritas perusahaan juga merespon keluhan atau pertanyaan tersebut. Hanya 29% perusahaan yang memiliki akun di Twitter yang tidak atau jarang meresponnya, sementara hanya 17% perusahaan yang memiliki akun di Facebook melakukan hal yang sama.
Seperti diketahui, pada dasarnya setiap komunikasi yang dilakukan perusahaan, merek, teman atau bahkan pesaing dengan public, menciptakan harapan. Semakin sering berkomunikasi atau menyampaikan pesan melalui status facebook atau Twitter misalnya, pada dasarnya membangun harapan. Harapan itu makin terbangun ketika sebuah merek atau perusahaan memiliki jumlah follower atau fans yang tinggi.
Itu karena tidak tertutup kemungkinan pesan yang disampaikan merek atau perusahaan tersebut diteruskan ke mereka yang bukan follower atau fans merek tersebut. Jika harapan tersebut terakumulasi terlalu tinggi, kemungkinan besar konsumen kecewa. Ketika mereka kecewa, mereka tidak akan diam tapi meneruskannya ke orang lain.
Dengan demikian, tahun 2012 ini diskusi tentang media social bukan lagi perdebatan tentang usaha mendapatkan atau memperbanyak fans di Facebook atau follower di Twitter, melainkan bagaimana caranya menemukan cara-cara yang kreatif untuk mempertahankan atau memantain mereka. Juga tak lagi memikirkan tweets yang disampaikan kepada mereka. Yang harus dipikirkan adalah "Bagaimana merek menggunakan Twitter untuk membuat interaksi – layanan pelangan – yang positif secara real time?”
Survei yang dilakukan Market Tools – seperti ditulis eMarketer.com (10/11/2011) – menunjukkan masih terdapat perusahaan yang tidak menyadari bahwa produk atau layanan mereka dibicarakan di media sosial. Sekitar 22% dari responden yang tidak tahu kalau ada konsumen mereka yang komplain di media sosial. 34% dari mereka mengakui memang ada komplain di media sosial, sedangkan 44% sisanya percaya bahwa produk atau layanan mereka tidak dikomplain di media sosial

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)