JAM 6 TENG - JAMES BURKE

Dengan nyali dan keyakinan itulah ia memerintahkan penarikan 31 juta botol Tylenol dari peredaran, meski biaya mencapai 100 juta dolar. Dia juga memerintahkan merancang ulang kemasan dengan sistem anti-rusak (tamper-proof) yang revolusioner.

Dua bulan kemudian, Tylenol kembali diluncurkan, lebih aman dan lebih dipercaya.

Keputusan tak populer itu justru mengubah krisis menjadi tonggak baru: Tylenol kembali merebut hati konsumen, tumbuh menjadi pendapatan miliaran dolar, dan menetapkan standar keamanan kemasan obat di seluruh dunia.

Lebih dari sekadar kebijakan darurat, cara Burke memimpin krisis Tylenol mengajarkan kita empat dimensi kepemimpinan sejati.

Pertama, hati—ia peka terhadap ketakutan dan kecemasan konsumen, menunjukkan empati yang menenangkan kegelisahan publik.

Kedua, jiwa—ia menegakkan integritas moral, jujur mengakui kesalahan tanpa menyembunyikan fakta, sehingga membangun kredibilitas di mata masyarakat.

Ketiga, pikiran—ia membawa ketegasan dan kejelasan langkah, melindungi momentum perusahaan dengan rencana konkret dan komunikasi yang tak menimbulkan ambiguitas.

Dan keempat, keteguhan—ia menyalakan harapan, meyakinkan publik bahwa J&J tetap berkomitmen melayani keselamatan pelanggan, bahkan saat segalanya serba tak pasti.

Burke memulai kariernya di Johnson & Johnson pada tahun 1953 sebagai Product Director untuk lini produk perawatan luka konsumen. Ini merupakan sebuah pijakan awal yang menumbuhkan pemahamannya tentang kebutuhan sehari-hari pelanggan.

Selama dua dekade berikutnya ia menanjak melalui berbagai jabatan, hingga pada 1973 dipercaya sebagai Presiden korporasi. Tiga tahun kemudian, saat Richard Sellars mundur, Burke diangkat menjadi Chairman dan CEO, posisi yang diembannya hingga 1989.

Pengalaman panjangnya memupuk kecerdasan bisnis sekaligus keteguhan hati—dua kualitas yang akan diuji berat ketika badai krisis Tylenol menghantam.

Di mata Fortune Magazine, pencapaian itulah yang menjadikan James Burke sebagai salah satu dari sepuluh CEO terhebat sepanjang sejarah. “Saya memberi nilai tinggi atas penanganannya sejauh ini,” kata Stephen Greyser, Profesor pemasaran dari Harvard Business School.

Cara Burke menangani krisis Tylenol menjadi bahan nrujukan para akademisi dan praktisi public relations. Di hampir semua bnuku tentang komunikasi krisis, dipasikan menambahkan krisis Tylenol sebagai model penanganan krisis yang berhasil.

Legasinya membuktikan bahwa luar biasa bukanlah soal posisi atau gelar, melainkan keberanian memimpin di saat genting, kejujuran membuka setiap pintu, kecerdasan merancang jalan keluar, dan tekad mengembalikan harapan.

Saat badai menerpa, kepemimpinan sejati bukan hanya bertahan—ia menyalakan mercusuar. Burke menunjukkan bahwa puncak tantangan adalah panggilan untuk tampil, dan dari sanalah lahir kisah menginspirasi yang terus bergema hingga hari ini.

Pages: 1 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)