Kampanye _“The best part of waking up is Folgers in your cup”_ menjadi titik balik. Ia mengganti retorika kolektif menjadi narasi individual. Kopi bukan lagi alat melayani keluarga, tetapi hak personal untuk kenyamanan.
Ini adalah bentuk inovasi budaya yang subtil namun kuat: mempertahankan akar nilai sambil menyesuaikannya dengan perubahan psikologis masyarakat.
Sementara itu, di sisi berlawanan sejarah, Starbucks muncul bukan sebagai merek kopi, tetapi sebagai fenomena budaya.
Saat Folgers mempertahankan tradisi, Starbucks mendobraknya. Mereka tidak menjual kopi rumah tangga, mereka menjual espresso Italia, latte, frappuccino. Mereka tidak menyasar kelas menengah tradisional, mereka membidik profesional urban, mahasiswa liberal, pekerja kreatif.
Mereka adalah orang-orang yang menganggap dirinya sebagai bagian dari masyarakat global, cerdas, dan stylish. Starbucks menciptakan ruang sosial baru: _the third place,_ antara rumah dan kantor, di mana konsumen tidak hanya minum kopi, tetapi _menjadi seseorang._ Di Starbucks, kopi adalah ekspresi identitas.
Starbucks tidak menjual kopi dalam artian produk. Mereka menjual ritual. Musik jazz yang diputar, nama yang ditulis di gelas, desain interior yang konsisten namun unik—semuanya adalah elemen dari panggung sosial tempat konsumen berperan.
Dalam kerangka Holt dan Cameron, Starbucks adalah contoh sempurna dari strategi budaya modern: merek sebagai sistem makna, bukan hanya entitas bisnis.
Perbedaan ini menciptakan medan persaingan yang tidak linear. Folgers mewakili nostalgia, keterhubungan emosional dengan tradisi, dan aksesibilitas. Starbucks mewakili aspirasi, keinginan akan pengalaman baru, dan kecanggihan budaya global. Dan ironisnya, keduanya sama-sama berhasil—karena keduanya berhasil menyentuh realitas psikososial konsumen mereka.
Strategi budaya yang digunakan Folgers dan Starbucks membuktikan bahwa produk yang sama—kopi—bisa diberi makna yang sangat berbeda. Mereka membuktikan bahwa dalam branding, tidak ada makna tetap. Semua makna dikonstruksi, dinegosiasikan, dan dilahirkan ulang melalui ideologi. Ini bukan sekadar pemasaran. Ini adalah politik budaya.
Kita hidup di dunia di mana pilihan kopi bisa mencerminkan nilai hidup. Dan dalam dunia semacam itu, pertanyaan paling dalam bukan lagi “kopi apa yang diminum?”, tapi “siapa aku ketika aku meminumnya?”
RUJUKAN
Holt, D., & Cameron, D. (2010). Cultural Strategy: Using Innovative Ideologies to Build Breakthrough Brands. Oxford University Press.