Di tengah perang dan kehancuran, Frederic Henry bukan pahlawan, melainkan manusia biasa yang berjuang untuk bertahan lewat cinta. A Farewell to Arms adalah kisah takdir yang mengajarkan keberanian dalam kehilangan.
.

.
Frederic Henry hanyalah seorang perwira muda Amerika. Dia bertugas sebagai sopir ambulans bagi tentara Italia saat Perang Dunia I. Ia bukan pahlawan besar yang ingin mengubah dunia atau tampil di barisan depan sejarah.
Ia seseorang yang sedang mencari tempatnya di tengah kekacauan, mencoba bertahan hidup dengan cara yang paling manusiawi—dengan cinta, kejujuran, dan keberanian dalam diam.
Justru karena itu, ia begitu dekat dengan kita. Ia adalah cermin dari jiwa yang rapuh namun tetap memilih bertahan—di tengah kehancuran, kehilangan, dan cinta yang akhirnya tak mampu diselamatkan.
Dalam novel perang romantik,_A Farewell to Arms,_ Ernest Hemingway menciptakan tokoh Frederic sebagai cerminan manusia biasa yang dilempar ke tengah badai perang. Frederic tidak banyak bicara soal moral atau patriotisme. Ia skeptis terhadap slogan dan pidato.
Hemingway sendiri pernah menjadi sopir ambulans Palang Merah di Italia selama perang, dan pengalamannya itu sangat memengaruhi karakter dan jalan cerita dalam novel. Jadi, meskipun Frederic Henry adalah tokoh fiksi, ia banyak mencerminkan pengalaman pribadi Hemingway sendiri.
Di dalam diri Frederic, ada kepekaan yang sunyi dan dalam. Ia jatuh cinta pada Catherine Barkley, seorang perawat Inggris. Dan lewat hubungan mereka, Frederic mengenal makna kebersamaan, kasih sayang, dan harapan yang bersinar samar di tengah gelapnya dunia.
Cinta mereka tidak megah, tapi intim dan nyata. Frederic, yang telah menyaksikan terlalu banyak kematian, menemukan kembali rasa hidup lewat sentuhan Catherine. Mereka membangun dunia kecil yang penuh kehangatan di tengah reruntuhan.
Namun Hemingway tidak menawarkan pelipur lara. Dalam salah satu adegan paling menyayat di A Farewell to Arms, kita mendapati Catherine Barkley terbaring lemah di rumah sakit. Ia baru saja melahirkan, namun bayinya meninggal. Tubuhnya yang lelah tak sanggup lagi melawan komplikasi yang datang satu per satu.
Frederic Henry, kekasihnya, duduk di samping ranjang, menggenggam tangan yang dulu menuntunnya menuju harapan. Kini, harapan itu perlahan memudar.
Catherine menatapnya dengan tenang. _“I’m not afraid. I...