Namun kemudian adegan ini memicu kontra dari lawan politik Presiden Jokowi. Politisi Partai Demokrat secara terus terang menuduh pemimpin negara menggunakan adegan pada upacara pembukaan AG 2018 ini untuk memoles citranya di depan khalayak pemilih muda jelang pemilihan umum tahun depan. Adegan ini, kata sang politisi, digunakan untuk menenggelamkan masalah mendasar yang dihadapi negara ini, yaitu defisit perdagangan. Aktivis Ratna Sarumpaet menilai video stunt Presiden ini tidak tepat di saat Indonesia sedang menghadapi musibah gempa bumi di Lombok dan cenderung membuang-buang uang. Apakah komentar negatif ini mempengaruhi persepsi dunia terhadap Pemerintah Indonesia? Ini masih perlu dibuktikan karena memang bisa jadi adegan yang dinilai sebagian kalangan itu “lebay” bisa menjadi kontra negatif kepada dimensi Governance dalam nationbranding.Governance adalah persepsi masyarakat internasional mengenai kemampuan negara dalam mengelola pemerintahan yang profesional, bersih, dan demokratis. Karena bagaimana pun nationbranding adalah tentang persepsi masyarakat internasional, bukan persepsi masyarakat di dalam negeri.
Untuk mendukung dimensi governance dalam nationbrand, pekerjaan rumah pemerintah Indonesia berikutnya adalah membuktikan bahwa keputusan mengambil alih host (tuan rumah) Asian Games AG 2018 dari Vietnam—yang mundur karena alasan finansial—ini adalah tepat. Atau dengan kata lain, pemerintah harus membuktikan bahwa AG 2018 di Jakarta dan Palembang ini benar-benar berdampak kepada perekonomian nasional seperti perhitungan awalnya. Karena bagaimana pun, di tataran global, isu tentang dampak ekonomi perhelatan olah raga dunia semacam Asian Games ini kepada negara penyelenggaranya masih menjadi kontroversi.
Kontroversi Dampak Ekonomi
The Economist pada Februari 2015 pernah menulis bahwa efek riak ekonomi akibat penyelenggaraan mega-sporting event ini sangat besar karena pembiayaannya biasanya selalu dilakukan dengan utang. The Economist mengutip Andrew Zimbalist, seorang ekonom olahraga Amerika, bahwa pemerintah kota yang bijaksana harus dengan segala cara untuk menghindari kontes menjadi tuan rumah perhelatan semacam ini. Dia menyebut event ini sebagai “pertaruhan ekonomi.” “Menjadi tuan rumah gelaran olahraga internasional berisiko tinggi dengan potensi tingkat pengembalian yang rendah,” katanya.
Staf ahli Kementrian Pariwisata Yuswohady mengatakan bahwa Asian Games 2018 menjadi katalis pengembangan infrastruktur. “Berkat Asian Games kita memiliki LRT untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia yaitu di Palembang dan di Jakarta. Berkat Asian Games pula kita memiliki venue
olahraga berkelas dunia seperti stadion GBK, Velodrom Rawamangun, Equestrian Pulomas,
hingga Jakabaring Sport City Palembang. Infrastruktur berkelas dunia ini akan mendongkrak reputasi Indonesia sejajar dengan infrastruktur di negara-negara maju,” katanya.
Sementara menurut The Economist, jaminan ekonomi dari mega-event tersebut jarang membuahkan hasil. Bahwa mega-event ini akan mendatangkan turis, kota akan mendapat liputan selama sebulan, pembangunan infrastruktur akan menjadi warisan yang dapat digunakan kemudian akhirnya hanya menjadi “janji” semata. Klaim seperti ini pada akhirnya menjadi misleading. Di Athena, stadion volley yang dibangun untuk Olympiade pada akhirnya ditinggali penghuni liar, stadion softball ditumbuhi pepohonan. Di Beijing arena balap sepeda yang dibangun dengan biaya mahal itu dipenuhi gulma. Ini terjadi karena semua infrastruktur yang dibangun dengan utang itu membutuhkan biaya perawatan yang cukup mahal yang diwariskan kepada pemerintah berikutnya.
Selain itu, tidak ada bukti nyata bahwa menjadi tuan rumah suatu kegiatan olahraga bertaraf internasional akan menyumbang devisa yang besar dari sektor pariwisata. Menurut catatan The Economist, olimpiade yang digelar di Beijing dan London hanya menarik minat sedikit pengunjung dibanding penyelenggaraan Olimpiade tahun-tahun sebelumnya.
Jadi pertanyaannya, apakah Pemerintah Indonesia bisa menjamin investasi senilai hampir Rp40 triliun itu worth it untuk perekonomian Indonesia?Megaevent Asian Games 2018 ini sejak awal dijanjikan akan menggerakkan perekonomian negara, atau minimal kota yang menjadi venue atau tuan rumah penyelenggaraan acara. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dikabarkan membuat riset tentang hal ini. Menurut Bappenas, AG 2018 di dua kota itu akan mendorong pengeluaran pengunjung senilai Rp3.568 triliun yang berasal dari Rp 583.429 wisatawan dalam negeri dan mancanegara. Selain itu, katanya, AG 2018 menciptakan tambahan lapangan pekerjaan sebanyak 108.800 di Jakarta dan Palembang. Bahkan Bank Indonesia dikabarkan membuat prediksi Asian Games akan berkontribusi sebesar 0,2%-0,3% terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2018.
Karena alasan itulah pemerintah kemudian menanamkan investasi senilai Rp29.7 triliun untuk pembangunan infrastruktur, yaitu pembangunan fasilitas pendukung seperti Gelora Bung Karno, Stadion Jakabaring, Wisma Atlet dan Light Rapid Transit (LRT). Pemerintah juga mengalokasikan belanja untuk operasional penyelenggaraan total senilai Rp7.9 triliun.
Pendapatan Inasgoc sendiri dari penyelenggaraan event ini ternyata tidak bisa menutup cost. Inasgoc hanya mendapatkan maksimal Rp1.8 triliun dari sponsor—sebagian besar sponsor adalah Badan Usaha Milik Negara, Rp60 miliar dari penjualan tiket, dan Rp7 miliar dari penjualan merchandise. Tidak disebutkan berapa pendapatan Inasgoc dari royalti hak siar media partner SCTV Group.
Dengan total biaya penyelenggaraan AG 2018 senilai hampir Rp38 trilun ini, worthit kah event ini bagi perekonomian Indonesia? Sejauh ini, dampak positif yang kasat mata dari penyelenggaraan AG 2018 adalah meningkatnya impresi masyarakat Indonesia kepada Pemerintah Indonesia dan Kepala Negara serta dampak emosi bangkitnya kebanggaan anak bangsa. Event ini juga dinilai bisa menyatukan perbedaan pandangan politik yang memecah bangsa jelang Pemilihan Presiden pada tahun depan. “Sebuah pemandangan yang menyejukkan ketika dua pemimpin (Presiden Jokowi dan Calon Presiden Prabowo) berpelukan bertiga bersama pemegang medali emas pencak silat Hanifan Yudani Kusuma, sesaat setelah si atlet melakukan selebrasi,” kata Siwo, demikian Yuswohady biasanya disapa.
Akhirnya, dibutuhkan pembuktian bahwa Asian Games 2018 ini memang berdampak kepada perekonomian nasional. Juga diperlukan pembuktian bahwa penyelenggaraan AG 2018 berdampak kepada nationbrand Indonesia. Pembuktian ini barangkali bisa dilakukan melalui survei kepada khalayak dunia internasional, bukan kepada masyarakat Indonesia.
Siwo pada awal presentasinya membandingkan manfaat perhelatan AG 2018 dengan perhelatan Olimpiade 2008 di Beijing, yaitu untuk melakukan diplomasi global dalam rangka membentuk persepsi baru Cina dengan keajaiban ekonomi dan kemampuan penguasaan teknologinya. Kejayaan Cina ini, katanya, tergambar pada Beijing National Stadium (“Bird's Nest Stadium”) yang berbentuk menyerupai sarang burung. Diplomasi global ini, lanjutnya, dilakukan dalam satu paket karena dalam waktu hampir bersamaan Cina menjadi tuan rumah dua event besar lainnya, yaitu Shanghai World Expo 2010 dan Asian Games Guangzhou 2010. Melalui Olimpiade dan Asian Games, kata Siwo, Cina ingin menunjukkan kepada dunia bahwa dia sednag bertransformasi menjadi kekuatan baru ekonomi dunia menandingin Amerika Serikat. *