Masih ingat iklan rokok dengan key word “How low can you go”? Iklan dengan key word yang kreatif itu adalah milik A Mild keluaran PT HM. Sampoerna Tbk. Ya, selama ini A Mild memang dikenal sebagai brand rokok yang sanggup mencuri perhatian publik Tanah Air, lantaran iklannya yang dinilai kreatif.
Sejatinya, iklan yang kreatif memang dibutuhkan brand rokok, karena mereka harus dibatasi oleh regulasi. Mulai dari keterbatasan berkampanye, aktivasi, hingga penayangan iklan di media elektronik, seperti televisi.
Tak mengherankan, jika billboard menjadi salah satu medium strategis yang membuat pengelola merek rokok leluasa menayangkan iklannya. A Mild pun menjadi salah satu brand rokok yang aktif memanfaatkan billboard sebagai contact point-nya.
Sayangnya, dalam memanfaatkan billboard sebagai contact point-nya kali ini, A mild harus tersandung masalah. Kreatif dan key word yang dihadirkan dinilai public terlalu vulgar dan menjurus pada hal yang tidak senonoh.
Pada iklan A Mild yang tayang di papan reklame yang berlokasi di jalan-jalan protocol di Bandung dan Jakarta, divisualisasikan sepasangpria dan wanita yang berangkulan dengan wajah yang nyaris bersentuhan. Key Word pun dibuat sangat vulgar dengan kalimat "Mula-Mula Malu-Malu, Lama-Lama Mau".
Lantaran visualisasi dan tagline yang berpotensi ditafsirkan untuk hal-hal yang tidak senonoh serta dianggap telah bertentangan dengan norma sosial yang ada di masyarakat, iklan A Mild pun diprotes public serta berbagai elemen masyarakat—seperti Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Perlindungan Anak dari Zat Adiktif –untuk segera diturunkan. Petisi yang memprotes iklan A Mild di social media pun ramai ditandatangani.
Atas desakan masyarakat, Sampoerna pun tak menunggu waktu lama. Mereka langsung memutuskan untuk memenuhi tuntutan public dengan menurunkan iklan baru A Mild yang telah telanjur tersebar di sejumlah papan reklame di berbagai titik kota.
Dinilai Djito Kasilo, Konsultan Marketing Komunikasi yang telah malang melintang di sejumlah agensi periklanan ternama, dari sudut pandang kreatif, iklan A Mild hanya melanjutkan yang dahulu. “Brand A Mild sejak awal, lebih dari 10 tahun yang lalu, sudah dilekatkan sebagai ‘anak muda kritis dan berani ngomong’. Itu artinya, melihat, mendengar, merasa, lalu langsung komentar spontan tanpa mikir lagi,” kata Djito.
Oleh karena itu, ditambahkan Djito, perhatikan setiap permainan copy dari iklan A Mild. “Nah, billboard A-Mild yang sekarang diprotes ini sekadar melanjutkan apa yang sudah diupayakan pendahulunya,” ia menilai.
Menurut Djito, insight adalah intisari senjata orang iklan, dan sasaran tembaknya adalah target audience. Itu sebabnya, fokus orang iklan adalah pada Consumer Insight. “Padahal, masih ada unsur Human Insight dan Social Insight. Nah, dua insight itu pun perlu diperhatikan. Bahkan, ada satu hal juga yang harus diperhatikan, yaitu Client Insight,” sarannya.
Kalaupun Sampoerna menurunkan iklan A Mild di billboard tersebut, Djito menilai, lebih karena alasan sosial-politis. “Saya paham kalau saat ini Sampoerna (hampir pasti) memanggil agensi iklannya untuk diskusi. Saya pun paham kalau pihak agensi akan bertahan di benteng bahwa ini adalah ‘peperangan’ komunikasi dan ‘peperangan’ marketing dan sales. Padahal, klien, dalam hal ini Sampoerna, masih butuh keamanan sosial-politis, yang orang iklan tidak memahami itu (client insight),” tandasnya.
Dari sudut pandang marketing communications, menurut Djito, dampak heboh billboard tersebut tidak akan berpengaruh bagi brand A Mild. Itu sebabnya, A Mild memang tak perlu melakukan langkah recovery.
“Pahami bahwa Sampoerna A-Mild adalah produk rokok, produk yang secara sosial dihindari, bahkan dimusuhi. Lantas, ada persepsi cumbu rayu anak muda itu dekat dengan masalah rokok. Melawan hal itu sama dengan menabrak tembok human dan social insight tadi,” imbuhnya.
Namun, ditambahkan Djito, jika A Mild memang punya kepedulian pada generasi muda Indonesia, tanpa pamrih (sponsor), mereka dapat menyisihkan profitnya untuk gerakan pengembangan sumber daya insani. “Bisa kepedulian seputar teknologi, spiritual, inovasi, kebudayaan, dan lain-lain. Termasuk, kepedulian pada krisis lagu anak Indonesia,” tutupnya.