Nation Branding Is Dead

nation branding1

Nation branding itu tidak ada. Itu mitos. Benar? Berdasarkan pengamatan Simon Anholt, penulis dan peneliti tentang Nation Brands paling popular saat ini, suatu bangsa mungkin memiliki merek - dalam arti bahwa mereka memiliki reputasi, dan reputasi mereka penting untuk kemajuan dan kemakmuran mereka di dunia modern sebagaimana image merek bagi perusahaan dan produknya.

Akan tetapi ide untuk 'melakukan branding' bagi suatu negara (atau ke kota atau daerah) dengan cara yang sama sebagaimana perusahaan melakukan branding untuk produk mereka, adalah sia-sia dan bodoh.

Untuk memperkuat pernyataannya itu, Anholt memaparkan pengamatannya selama 15 tahun sejak pertama kali bekerja di bidang branding. Dia mengemukakan bahwa dia belum melihat secuilpun bukti yang menunjukkan bahwa program komunikasi pemasaran, slogan atau logo, yang berhasil, atau yang bisa berhasil, dalam mengubah persepsi internasional terhadap suatu negara atau tempat secara langsung.

Malah beberapa bukti lainnya menunjukkan sebaliknya: antara 2005 ketika Anholt Nation Brands Index diluncurkan, dan studi terbaru pada tahun 2009, belum ada korelasi terdeteksi antara perubahan dalam citra nasional dan pengeluaran untuk 'kampanye nation brand'.

Beberapa negara yang tidak melakukan aktivitas pemasaran (Selain dari pariwisata normal dan promosi investasi) selama periode ini telah menunjukkan perbaikan yang nyata secara pada image mereka secara keseluruhan, sementara negara lain yang telah menghabiskan anggaran yang sangat besar untuk iklan dan kampanye PR, nilai merek mereka tetap stabil atau bahkan menurun.

Kampanye pariwisata memang bisa membujuk orang untuk pergi berlibur ke suatu tertentu negara. Tetapi tidak ada yang mengejutkan atau kontroversial tentang ini sebab semua orang tahu bahwa produk atau jasa dapat secara efektif dijual kepada khalayak target dengan menggunakan komunikasi pemasaran. Kadang-kadang, kampanye 'nation-branding' efektif dalam menciptakan kesadaran dan bahkan recall pada khalayak sasaran tertentu.

Tetapi tidak ada sesuatu yang mengejutkan tentang hal itu. Sebab jika Anda cukup sering mengulangi slogan itu, pada akhirnya orang mengakui itu, dan bahkan mungkin ketika ditanya mereka dapat mengulanginya. Apakah awareness dan recall memiliki kekuatan untuk mengubah pendapat dan perilaku mereka terhadap suatu negara, itu masalah lain.

Sebenarnya, menurut Anholt, nation branding itu masalah, bukan solusi. Opini publik memberikan gambaran bahwa merek negara dan sebagian besar negara memerlukan upaya untuk melawan kecenderungan opini publik internasional terhadap merek mereka, bukan malah mendorong opini tersebut. Pemerintah perlu membantu dunia memahami kenyataan, kompleksitas, kekayaan, keragaman sifat orang dan lanskapnya, sejarah, warisan, produk dan sumber daya mereka: untuk mencegah mereka dari sekadar menjadi merek belaka.

Ide nation brand memang memberikan angin segar di kalangan pemerintah di banyak negara. Kombinasi kata 'bangsa' dan 'merek' memiliki resonansi karena citra merek tempat memang menjadi pusat kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Ketika dunia menjadi pasar tunggal, kemajuan globalisasi berarti bahwa setiap negara, kota dan daerah harus bersaing dengan negara atau kota lainnya berebut pangsa komersial, politik, sosial dan transaksi. Dalam lingkungan seperti itu, seperti di pasar produk, citra merek menjadi faktor kritis atau sebagai jalan pintas yang diperlukan untuk suatu informasi keputusan pembelian.

Pengaruh citra merek nasional adalah jelas untuk melihat. Terdapat banyak argumen ekonomi dan politik yang kuat tentang pentingnya mengakui, memahami, memantau, mungkin mempengaruhi image of place. Anholt meringkasnya dengan sebutan competitive identity. Intinya, jika sebuah negara memiliki citra yang baik, segala sesuatunya menjadi mudah. Ibarat, ketika suatu produk yang diproduksi suatu negara ditawarkan ke luar negeri, image negara tersebut seakan pergi ke negara yang akan dituju mendahului produk tersebut. Ia yang membukakan pintu, menciptakan kepercayaan dan rasa hormat, dan meningkatkan harapan kualitas, kompetensi dan integritas.

Sebaliknya jika suatu negara memiliki image yang buruk atau lemah, semuanya dua kali lebih keras dan biayanya dua kali lebih banyak. Tempat dengan reputasi miskin, tak berbudaya, mundur, berbahaya atau korup membuat segala sesuatu yang mereka atau warga negara mereka coba untuk sampaikan atau mencapai luar lingkungan mereka menjadi lebih sulit. Bandingkan pengalaman seorang manajer dari Swedia dan Iran di pasar kerja internasional, atau perjuangan eksportir dari Bangladesh dan Kanada.

Pages: 1 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)