Selama bertahun-tahun, pemasar menjadikan pesan mereka kepada ibu-ibu dengan mengedapankan benefit bagi anak. Namun, strategi ini mulai kehilangan efektivitas begitu anak-anak mereka tumbuh dan memperoleh kebebasannya.
Pemasar saat ini dihadapkan pada tantangan pemasaran untuk kelompok konsumen yang berbeda-beda. Masing-masing kelompok konsumen tersebut membawa ide-ide mereka sendiri, dipengaruhi rekan kerja dan keluarga, dan promosi merek. Ini merupakan bagian penting dari teka-teki yang diperlukan untuk membentuk hubungan yang kuat dan membangun loyalitas merek.
Seperti diketahui, setiap generasi memiliki karakteristik yang unik. Mereka memiliki harapan, pengalaman, nilai, dan demografi sendiri yang unik sesuai dengan tahapan dalam lifecycle masing-masing. Karkateristik ini mempengaruhi perilaku pembelian mereka. Itu sebabnya, mereka tidak diperlakukan oleh pemasar dengan cara yang sama.
Banyak perusahaan yang menjangkau konsumen multigenerasi. Mereka menggarap pasar yang ada pada tahapan daur hidup konsumen. Produsen susu formula misalnya, menggarap mulai dari saat ibu hamil hingga melahirkan, bayi umur di bawah setahun hingga di bawah sepuluh tahun yang kemudian dilanjutkan susu untuk remaja dan dewasa bahkan sampai ke usia di atas 50 tahun. Langkah ini membutuhkan pemahaman tentang karakteristik tersebut.
Selama bertahun-tahun, pemasar menjadikan pesan mereka kepada ibu-ibu dengan mengedapankan benefit bagi anak. Jika perusahaan menjual kereta bayi misalnya,
mereka memfokuskan pada pesan yang menonjolkan posisi duduk yang nyaman untuk
bayi daripada fitur stroller yang mudah dilipat sehingga meringankan ibu-ibu.
Walaupun cara ini efektif, namun efektivitasnya akan menurun sejalan dengan perkembangan usia bayi tersebut. Ketika bayi beranjak usia, karena ukuran tubuh yang berkembang sementara ukuran stroller tetap, posisi itu mmenjadi tidak nyaman. Ini tentu berbeda bila pesan menonolkan kemudahan bagi ibu-ibu dalam menggunakan troller tersebut. Pesan itu terus menancap di benak ibu karena kesan kemudahan dalam mengoperasikannya tidak pernah hilang.
Maria T. Bailey dan Bonnie W. Ulman dalam bukunya, Trillion-dollar moms : marketing to a new generation of mothers, menulis bahwa dalam hirarki nilai-nilai, ada ibu-ibu yang lebih memberi nilai dari bayinya. Tipikal ibu seperti itu umumnya adalah ibu generasi Y atau Echo Boomers, Digital Generasi, Next Generation, atau Milenium. Ibu-ibu lahir lahir antara tahun 1977 dan 1994, dan umumnya lulusan dari sekolah tinggi. Mereka menikmati masa kanak-kanak yang sejahtera, mengkoleksi boneka seperti American Girl yang harganya hampir Rp 250 ribu, dan menghiasi tempat tidurnya dengan poster artis atau penyanyi remaja tween.
Semasa remaja mereka suka nongkrong, gaya kamar tidur dihiasi berbagai macam katalog, lebih dari dua-pertiga dari remaja memiliki televisi di kamar mereka, dan ketika mereka tidak media mengkomsumsi media massa visual, 70 persen dari mereka melakukan online. Mereka lahir pada era teknologi elektronik dan masyarakat nirkabel dengan batas-batas global menjadi lebih transparan. Penelitian Hawkins, Mothersbaugh, dan Best (2010), menunjukkan bahwa mereka lebih mementingkan diri sendiri dan mandiri dengan rasa kemerdekaan serta otonomi yang kuat. Mereka menginginkan hasil dan tidak begitu peduli dengan mengapa itu. Mereka memiliki kebutuhan yang lebih besar untuk penerimaan peer, menghubungkan dengan rekan-rekan mereka, pas, dan sosial jaringan. Namun Gen Y individu berpikiran terbuka, optimis, berorientasi tujuan, dan bermotivasi tinggi terhadap persepsi mereka sukses.
Ketika mereka melahirkan bayinya, mereka cenderung mengesampingkan jati dirinya dan kebutuhan dirinya sendiri sebagai seorang wanita. Dia memfokuskan semuanya pada kebutuhan sang anak. Jadi pesan yang berfokus pada manfaat bagi bayi bisa saja efektif karena mereka akan melakukan apapun untuk memberikan anak-anak mereka sesuatu yang terbaik. Pemasar juga sering menggunakan anak-anak untuk pasar untuk ibu dengan memenangkan hati anak-anak mereka. Meskipun ibu-ibu tidak sepenuhnya berperan dalam keputusan pembelian produk kebutuhan rumah tangganya, namun mereka berusaha melakukan pembelian produk yang diinginkan anak-anaknya demi menyenangkan anak-anak mereka. Mereka juga akan membeli
produk untuk memastikan bahwa anak-anak mereka diterima oleh teman-teman anaknya.
Kadang-kadang saking hati-hatinya, seorang ibu mempertinbangkan risiko saat menentukan pilihan pilihan mereknya. Sehingga, kadang-kadang iklan dengan sedikit menakut-nakuti seringkali efektif. Sebu saja iklan kampanye imunisasi. Dengan menonjolkan risiko yang bakal peroleh sang anak bila diimunisasi, sang ibu dengan sukarela menyerahkan anakanya ke dokter atau etugas kesehatan lainnya untuk diimunisasi.
Namun, strategi ini mulai kehilangan efektivitas begitu anak-anak mereka tumbuh dan memperoleh kebebasannya. Selama proses ini, seorang ibu mulai mengambil kembali sebagian dari identitasnya. Saat itu, sang ibu mulai melanjutkan kenikmatan lamanya. Ini bisa dilihat dari perilaku ibu-ibu yang usianya beranjak naik. Mereka terlibat dalam perawatan spa, mengambil bagian dalam kegiatan belanja perempuan pada akhir pekan.
Para pemerhati pemasaran percaya bahwa pemasar yang tumbuh bersama ibu akan meningkatkan penjualan. Beberapa ibu mengatakan bahwa mereka lebih cenderung menggunakan produk yang berubah-ubah mengikuti perubahan gaya hidup mereka yang bergerak berdasarkan beberapa tahapan. Ini menuntut perusahaan menawarkan produk konsumen dengan basis produk yang luas seperti yang dilakukan Procter & Gamble, Unilever, dan Johnson & Johnson. Mereka menawarkan produk mulai sampo yang tidak membuat pediah di mata untuk bayi hingga lotion untuk memperindah kaki ibu-ibu.
Intinya, meskipun ibu selalu membawa tanggung jawab menjadi seorang ibu dengan anak-anaknya, namun dia tidak pernah melepaskan identitasnya sebagai seorang wanita. Marketer yang mengakui peran ganda wanita akan berhasil bila bisa memenangkan hatinya.
Jadi, bagaimana pemasaran menemukan pesan yang tepat untuk...