"Digital transformation bukan sekadar mengubah perusahaan menjadi instansi berbasis Teknologi Informasi. Namun, harus ada evolusi dari seluruh Sumber Daya Manusia, mulai dari level pimpinan hingga anak buah, untuk bertransformasi menuju era digital," ungkap Nanda Ivens, CEO Asia Pacific Mirum Agency, membuka seminar hari pertama Citra Pariwara 2015, hari ini (26/11).
Menurut Nanda, digital transformation adalah proses yang mampu membantu brand menjadi less product-oriented dan lebih customer-focused. "Itu artinya, digital transformation harus fokus dan berorientasi pada konsumen, bukan berorientasi pada klien," tegas Nanda.
Perusahaan-perusahaan yang mampu melakukan transformasi digital--karena dituntut oleh perubahan konsumen yang begitu cepat--menjadi perusahaan yang dapat terus survive. Nanda mencontohkan Starbucks yang mampu menciptakan digital experience bagi pelangganya.
"Melalui kartu loyalty member-nya, Starbucks menjadi perusahaan yang leading dalam hal mobile payment. Terbukti ada 3 juta transaksi mobile (mobile payment) di Starbucks yang terjadi dalam satu minggu. Sementara itu, 20 persen pemegang loyalty card bertransaksi via mobile," lanjutnya.
Bandingkan dengan brand-brand yang tak mampu menjawab perubahan dan tuntutan konsumen. Mereka akan tergerus oleh arus perubahan, bahkan mati. Ia mencontohkan bagaimana Kodak yang pernah berjaya dan menjadi merek generik untuk produk kamera terpaksa harus tenggelam, karena tak mampu mengikuti perubahan konsumen.
Itu sebabnya, dinilai Nanda, sebuah brand dikatakan sebagai "brand digital" jika mereka mampu fokus pada kustomer, menciptakan value alias bukan menciptakan produk, dan mengimplementasikan digital culture ke dalam DNA brand.
Sementara itu, pembicara kedua di seminar Citra Pariwara 2015, Almira Shinantya, Managing Director DM ID Group, memaparkan bahwa kreatif memang harus mendapat dukungan teknologi. "Begitu juga dengan branding. Dulu, banyak orang mengasosiasikan bahwa brand adalah visualisasi dari logo. Brand adalah juga experience," yakin Almira.
Perbedaan yang cukup signifikan antara era dulu dan sekarang adalah pergeseran dari consumer to prosumer. Diuraikan Almira, jika dulu brand melakukan branding dan edukasi agar konsumen mau mengkonsumsi produk mereka atau menggunakan layanan mereka, maka saat itu sudah tidak seperti itu. "Saat ini branding dan edukasi harus mampu mendorong konsumen memproduksi konten atau produk untuk kemudian mereka konsumsi. Itu yang disebut sebagai bisnis model Prosumer," lanjutnya.
Almira menyebutkan bahwa perusahaan yang mampu beradaptasi dengan perubahan akan banyak memetik keuntungan yang cukup signifikan. Contohnya Air BnB, perusahaan yang menyediakan aplikasi untuk penginapan, layaknya bisnis aplikasi ojek, Go-Jek. Air BnB mampu memperoleh value $ 20 miliar hanya dalam tempo tujuh tahun. Bandingkan dengan Marriott yang membutuhkan 88 tahun untuk mencapai brand value $ 20 miliar.