Pernah membayangkan berapa banyak konten bertebaran di internet? Dulu kita hanya bisa menerima konten searah dari media massa konvensional seperti TV, media cetak, dan radio yang jumlahnya terbatas. Kini ada media digital yang bisa diakses lintas negeri, lintas umur, lintas waktu, dengan update konten yang nyaris tak terbatas—karena kecepatan menciptakannya melebihi kemampuan seseorang dalam mengonsumsinya. Karena kini siapa saja bisa membuat konten dan mengunggahnya di media sosial.
Menurut Amit Chaubey, Head of Marketing Science Southeast Asia Facebook, saat ini dalam satu menit rata-rata ada 763 ribu akun menggunakan media sosial Facebook. Mereka mengisi konten pada wall mereka sendiri maupun di wall orang lain, atau sekadar memberikan response atas konten yang di-posting orang lain. Bayangkan pula dalam semenit tercipta 41,6 juta pesan di WhatsApp, 65.900 video di-posting di Instagram, US$293.596 transaksi penjualan di Amazon, 1.389 ada pemesanan Uber, dan 972.222 swipes di Tinder—aplikasi pencarian sosial berbasis lokasi. Hal ini memungkinkan karena kini orang dengan mudah mengakses internet via mobilegadget yang ada di genggaman. Di Indonesia saat ini satu dari tiga orang mengakses internet dengan handphone.
Pada perhelatan Road to Asia Pacific Media Forum (APMF) 2018 yang diselenggarakan akhir Juli lalu. Amit Chaubey hadir memberikan pemasanasan materi bersama Gerd Leonhard, CEO of The Futures Agency dan penulis buku “Humanity vs Technology.” APMF adalah ajang dua tahunan berkumpulnya marketers, praktisi komunikasi pemasaran, media, dan start up se-Asia Pasifik.
Melihat perkembangan penciptaan konten dan konsumsi media masyarakat Indonesia, Amit Chaubey mengajak marketers untuk memanfaatkan media ini untuk mengkomunikasikan brand kepada targetaudience. Apalagi, menurut Amit, studi ARF (The Advertising Research Foundation) menemukan apa yang disebut sebagai “Kicker Effect” dalam ROI. Kicker Effect adalah effect Return on Investment (ROI) yang “ditendang” jauh lebih tinggi lewat penggunaan digital bersamaan dengan TV sebagai media kampanye pemasaran.
Riset ARF itu menunjukkan bahwa apabila TV digandengkan dengan media cetak secara bersamaan dalam kampanye pemasaran, maka kenaikan ROI mencapai 19%. Jika radio dan TV digandengkan bersamaan, maka peningkatan ROI-nya 20%. "Tapi jika TV dan digital digunakan bersamaan untuk kampanye pemasaran, maka ROI meningkat lebih tinggi, yakni 60%," urainya.
Hal yang sama juga terjadi pada kinerja penjualan. Diungkapkan Amit, jika merek hanya menggunakan TV sebagai kampanye pemasarannya, maka penjualan hanya meningkat 8%. Jika hanya menggunakan Facebook, peningkatan penjualan hanya 13%. Tapi jika TV dan Facebook digunakan secara bersamaan, maka kenaikan penjualan dapat mencapai 25%. "Untuk itu, penting bagi pemasar mensinergikan TV dan Facebook dalam kampanye pemasaran merek," ucapnya.
Agar penggunaan digital bisa optimal menaikkan ROI, Amit lalu menjelaskan bahwa brand harus memahami perilaku konsumsi konten audience di mobile gadget. Menurut dia, audience cenderung berperilaku cepat ketika mengonsumsi konten pada mobile. Mereka hanya akan bertahan sekitar 1,7 detik sebelum men-scroll konten. Ini lebih cepat dibandingkan bertahan sebelum scrolling konten di desktop (Personal Computer), yang mencapai 2,5 detik. Demikian pula dengan waktu yang dibutuhkan untuk mengingat konten di mobile, hanya 0,25 detik. Layar yang lebih kecil (handphone), katanya, memang membuat seseorang melihat konten dengan lebih cepat, namun perhatiannya lebih tinggi dan lebih fokus. “Melihat dengan kecepatan tinggi membuat pikiran manusia berada pada status heightened attention,” katanya sambil menunjukkan posisi seseorang yang disebutnya sebagai heightened attention.
Oleh karena itu, katanya, brand yang akan berkomunikasi di mobile harus mengadaptasi perilaku konsumen seperti itu. “Sehingga iklan di mobile harus memegang tiga prisip, yaitu Frequent (sering), Quick (penayangan cepat), and Aktif,” katanya.
“Konten juga harus pendek dan ringkas, buatlah branding yang besar di awal konten, gunakan karakter yang terkait dengan mereka, selebritis, dan teks,” tuturnya. Amit lalu mencontohkan satu merek di Indonesia yang menerapkan konsep itu dan sukses memperoleh perhatian orang di mobile, yaitu iklan Lifebuoy untuk varian sabun mandi jenis gel. Lifebuoy membandingkan tiga versi kreatif iklan mobile-nya. Versi pertama berhasil men-deliver pesan kunci—bahwa mandi bisa dilakukan hanya dengan satu tetes Lifebuoy Gel—setelah iklan diputar selama 7,1 detik, versi kedua setelah 2,55 detik, dan versi ketiga setelah 1,67 detik. Kampanye Lifebuoy yang ketiga di Facebook dan Instagram ini berhasil meningkatkan niat orang untuk membeli (purchase intent) sebesar 28%, serta meningkatkan Ad Recall sebesar 11%," paparnya.
Jadi, berpikir dalam mobile adalah berpikir cepat. “Think mobile = think fast,” kata Amit. Ini merupakan tantangan bagi orang-orang kreatif iklan untuk memaksimalkan konten kreatifnya dalam waktu yang pendek. “Karena konten yang kreatif memungkinkan awarness meningkat hingga dua kali lipat dan meningkatkan niat pembelian hingga 4,5 kali lipat,” ujarnya. Selain cepat, menurut Amit, yang tidak kalah penting dalam beriklan di media sosial adalah sering dan aktif.
Sebagai penutup, Amit mengatakan bahwa ada tiga hal yang perlu diperhatikan ketika berkomunikasi di mobile. Pertama, adaptasi perilaku konsumsi media mobile yang cenderung sering (frequent), cepat (quick), dan aktif. Kedua, adaptasi perencanaan media (media plan) Anda untuk kondisi di mana perhatian pengguna mobile terfragmentasi. Ketiga, ukurlah hasilnya berdasarkan real people dan real business. Click dan like saja tidak cukup untuk mengukur hasil kampanye di digital. Harus dilakukan riset untuk melihat apakah kampanye di media sosial ini membidik orang yang tepat, apakah awareness, sales dan ROI-nya mencapai target yang diharapkan.
Pada sesi kedua, Gerd Leonhard, CEO of The Futures Agency dan penulis buku “Humanity vs Technology.” membawakan tema "Ready fot the Future of Consumer Engagement?" Pada kesempatan itu, ia menegaskan bahwa business as usual is dead. Artinya, dengan segala perubahan yang terjadi di market, perusahaan yang menjalankan bisnis seperti biasanya saja, tanpa inovasi, tanpa perubahan, akan mati. Ia mencontohkan bagaimana para produsen mobil tradisional yang kalah jauh dalam pertumbuhan bisnis dibandingkan Tesla, mobil listrik. Tesla pertumbuhan paling tinggi, yakni mencapai 17,7%. Sementara kompetitornya, tumbuh single digit seperti VW yang cuma tumbuh 6,4%, BMW tumbuh 6%, General Motors naik 4,9%, Ford 4,5%, Daimler 4,4%, dan Toyota 3,7%.
Inovasi yang sama, katanya, juga harus dilakukan di industri media dan periklanan. Ia menunjukkan bagaimana belanja iklan di digital bertumbuh sangat tinggi dibandingkan iklan di TV. Bahkan, pada 2016 nilai belanja iklan keduanya di tingkat global sudah sama. Hal itu terjadi karena rata-rata per hari orang mengkonsumsi konten di TV dan internet sudah tidak jauh berbeda. Rata-rata konsumsi TV per hari per orang secara global cenderung menurun dari 188 menit pada 2009 menjadi 170 menit pada 2016, diproyeksikan menjadi 167 menit pada 2017 dan 164 menit pada 2018. Sebaliknya, konsumsi internet per hari per orang meningkat secara signifikan dari 102 menit pada 2013 menjadi 149 menit pada 2017, dan 157 menit pada 2018.Bahkan lebih spesifik, konsumsi online video meningkat sangat tajam dari 20 menit per hari pada 2015 menjadi 35 menit pada 2017 dan diperkirakan menjadi 45 menit pada 2018.
Menurut Gerd, pada 2016 nilai global internet ad spending menyamai global TV ad spending di kisaran US$190bilion. Trend keduanya naik, namun kenaikan atau growth internet ad spending lebih tinggi dibandingkan growth TV ad spending. Bahkan sejak 2014 pertumbuhan global TV ad spending cenderung stagnan. Sementara internat ad spending pertumbuhannya cenderung positif, bahkan sangat tinggi.