Kendati media konvensional seperti televisi, koran, majalah, dan radio kerapkali menyalahi etika—hingga berujung pada teguran KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) dan kecaman publik—namun sebagian masyarakat Indonesia masih tetap menjadikan media konvensional sebagai media utama mereka. Hal itu ditandai dengan masih tingginya "kue" iklan untuk media konvensional--terutama televisi--dibandingkan porsi iklan untuk media sosial.
Fenomena tersebut, menurut Wakil Ketua Umum BPP Perhumas 2011-20014 Troy Pantouw, tak lepas dari konteks strata masyarakat di Indonesia. Walaupun trend perkembangan dan pertumbuhan pengguna media sosial di Tanah Air bergerak cukup tinggi, namun tren tersebut hanya berlaku pada segmen masyarakat tertentu, yang terkait dengan usia dan lokasi.
“Mereka yang lahir di era 80-an, 90-an, serta 2000 adalah mereka yang aktif sekaligus tinggi tingkat konsumsinya di media sosial. Mereka yang aktif di media sosial juga lebih banyak berasal dari beberapa kota berskala menengah dan besar di Indonesia,” lanjut Troy, yang juga Pengamat dan Profesional Komunikasi Perusahaan yang saat ini bekerja di sebuah perusahaan consumer goods global di Jakarta.
Akibatnya, preferensi masyarakat Indonesia hingga kini masih mengutamakan akurasi dari media-media non-sosial, alias media konvensional. Masih kuatnya cengkraman media konvensional, diakui Troy, juga berkat keyakinan masyarakat yang semakin menyadari bahwa media sosial kian beragam dan sering diragukan efektivitas maupun akurasinya lewat beberapa contoh kasus yang pernah terjadi.
Adapun media konvensional, dikatakan Troy, bagi sebagian masyarakat mampu menyajikan informasi yang "lengkap" dan diyakini berbasiskan cross data. Kelebihan lain dari media konvensional adalah sanggup menggabungkan informasi dari beberapa narasumber dengan ditunjang kekuatan visual.
“Bahkan, ada audience yang merasakan secara emosional kedekatan dengan media, karena menyentuh atau bahkan ‘membau’ aroma khas kertas koran dan majalah yang dipegangnya langsung. Sementara kekuatan radio, karena audience dapat mendengarkan secara langsung penyiarnya. Hal itulah yang juga menjadi faktor emosional yang menunjukkan kedekatan. Sementara untuk televisi, audience dapat melihat langsung peristiwa yang tengah berlangsung dalam tayangan tersebut,” papar Troy.
Ya, media-media konvensional tersebut dianggap mewakili berbagai konteks situasi dan emosionalitas yang berlangsung. Namun, di sisi lain, kecepatan informasi, kemudahan akses informasi, updating secara cepat, probabilitas berinteraksi dengan sumber media, adalah beberapa hal yang tidak sepenuhnya dapat dipenuhi oleh media konvensional—namun dapat dipenuhi oleh media sosial.
Ke depan, meski penetrasi pengguna media sosial makin meningkat, sayangnya tidak serta merta menumbuhkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media sosial. Dikatakan Troy, “Fakta itu akan berbeda pada peristiwa penggalangan gerakan tertentu atau ajakan secara kuat dan massif, demi memberikan simpati, empati, dukungan, bahkan antipasti atau perlawanan terhadap suatu sikap dan keadaan dari seseorang atau institusi tertentu.”
Diungkapkan Troy, hal tersebut menguatkan tesis bahwa media sosial memang lebih pada kemudahan dan kecepatan akses, namun bukan berarti memiliki tingkat kepercayaan yang signifikan—walaupun hal itu harus dilanjutkan melalui penelitian secara khusus. “Sementara itu, keberadaan media konvensional yang semakin beragam dan bertumbuh, masih memberikan kepastian, keyakinan, dan kenyamanan sebagai referensi masyarakat,” Troy menuturkan.
Sejatinya, setiap perusahaan harus mampu memetakan karakter dan target audience dari berbagai media, baik media konvensional maupun media sosial. Termasuk, merancang strategi komunikasi secara terintegrasi, seiring dalam menjalankan operasi bisnisnya. “Di sinilah, perusahaan dituntut memiliki wawasan yang luas. Termasuk, keterampilan dalam memperoleh, mengelola, dan mengaplikasikan data serta informasi yang diperoleh melalui pemetaan pemangku kepentingan dan identifikasi resiko-resiko menjadi strategi pendekatan pemangku kepentingan dan metode komunikasi yang tepat,” urai Troy.
Oleh karena itu, pimpinan perusahaan ataupun manajemen puncak memegang peranan sangat penting untuk mendorong, melegitimasi, dan yang terpenting memberikan kepercayaan tinggi dan sepenuhnya kepada profesional yang mengelola komunikasi perusahaan. "Kelincahan dan kecerdasan dalam mengelola media-media yang ada saat ini sudah menjadi sebuah tuntutan, terutama ketika perusahaan menghadapi krisis,” tambahnya.
Itu sebabnya, pentingnya peran profesional di bidang komunikasi perusahaan, kehumasan, dalam mengelola komunikasi secara terintegrasi. “Sebab, pertaruhan nama besar perusahaan saat mengelola krisis tidak hanya berada pada pundak seorang CEO. Tidak ada pilihan lain, dukungan bantuan dari orang-orang yang berkompeten dan profesional sangat diperlukan bilamana organisasi tersebut ingin operasionalnya bertumbuh,dan berkembang secara berkesinambungan,” tutup Troy.***