Tahun 1997 sekelompk gubernur dari beberapa negara bagian di Amerika Serikat mendirikan sebuah lembaga pendidikan tinggi yang berbasis di Utah, Western Governors University. Lembaga publik itu menyediakan layanan secara online kepada 37 juta orang dewasa yang bekerja di negara itu, beberapa pelatihan tetapi tidak ada gelar. Selama lima tahun terakhir, WGU mengalami lonjakan empat kali lipat dalam pendaftaran hingga memiliki siswa lebih dari 42.000 siswa dari 50 negara bagian dengan tingkat retensi, kepuasan dan prestasi mahasiswa yang terus meningkat.
Kini WGU menyediakan program gelar. Rata-rata, siswa mengikuti satu tahun kuliah, dan bisa mendapatkan gelar sarjana dalam 34 bulan (dua tahun lebih cepat dari program biasa) dan membayar $ 6.000 per tahun atau lebih rendah dari biaya kuliah yang dibebankan oleh perguruan tinggi umum konvensional. Melalui instruksi (komunikasi) yang dimediasi computer dan dosen penuh waktu berinteraksi dengan mahasiswa dengan model satu mahasiswa satu mentor, mahasiswa menyelesaikan tugas –tugas yang diberikan terkait dengan pengetahuan mereka tentang bisnis dan industri.
Calon mahasiswa yang dibidik universitas online ini adalah orang-orang dewasa yang bekerja, dan bukan lulusan sekolah menengah yang tidak siap masuk ke kampus. Presiden WGU Robert Mendenhall mengatakan model bisnis lembaganya itu kini semakin relevan mengingat reaksi publik terhadap kenaikan biaya kuliah dan mahasiswa utang. "Memiliki model lembaga pendidikan yang dapat memberikan pendidikan berkualitas tinggi dengan biaya $ 6,000 per tahun menyampaikan pesan bahwa kita perlu menemukan cara yang lebih efisien untuk memberikan pendidikan berkualitas tinggi," katanya.
Sejak 2010, WGU bermitra dengan lima negara Amerika untuk menyelenggarakan pendidikan melalui online. Tujuannya adalah menyiapkan lulusan perguruan tinggi yang siap memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi. WGU juga telah melakukan kerjasama dengan setengah lusin lembaga pendidikan tinggi lainnya di AS dalam upayanya untuk mengadopsi pendidikan berbasis kompetensi.
Fenomena itu menunjukkan bahwa teknologi sangat penting bagi masa depan WGU. Sekarang, mahasiswa bisa mengerjakan soal ujian mereka dari rumah dengan webcam selain situs website, sementara instruktur menggunakan analisis data untuk menilai kesenjangan dalam pembelajaran siswa. "Selama lima tahun ke depan, teknologi akan meningkatkan kesenjangan antara bagaimana caranya agar dosen dapat mengajar secara efektif seperti di kelas dengan 30 mahasiswa. Di sisi lain, dari sisi teknologi muncul tantangan bagaimana membantu mahasiswa dengan benar pada waktu yang tepat sehingga mahasiswa bias belajar lebih efektif dan efisien,” kata Mendenhall.
Mengapa Amerika Serikat mengembangkan pendidikan tinggi model jarak jauh tersebut? Bukankah menurut Badan Statistik Pendidikan AS (the National Centre for Education Statistics) jumlah siswa SMA tidak seperti yang diperkirakan yang mencapai puncaknya lagi sampai 2021. Bukankah itu berarti terjadi kelebihan kapasitas?
Para pengelola pendidikan tingi di AS melihat trend negara lain. India misalnya, prediksi PBB, anak usia 18-22 tahun pada tahun 2020 mencapai seperempatnya populasi India. Dengan populasi usia kuliah seesar itu, kursi universitas yang tersedia tidak cukup untuk melayani mereka. Pada tahun 2020, dari sekitar 200 juta orang muda di seluruh dunia, 40 persen adalah siswa sekolah kelas elit dan menengah di China dan India. Pada tahun 2025, jumlah mereka yang bepergian ke luar negeri untuk mengejar gelar meningkat dua kali lipat dari perkiraan saat ini yang 4,3 juta siswa.
Gambaran itu menunjukkan adanya pasar yang besar bagi perguruan tinggi AS. Karena itu, banyak perguruan tinggi di AS meningkatkan kemampuan global mereka untuk memastikan kelangsungan keuangan jangka panjang mereka dan menciptakan model bisnis yang berkelanjutan. Lembaga-lembaga publik yang pernah mengandalkan dana dan kuliah dari pemerintah untuk pendapatan, sekarang mengalihkan promosinya melalui ke media sosial, pembelajaran online dan kredensial baru untuk memperkenalkan diri mereka ke siswa internasional.
Disinilah pentingnya prestise dan reputasi. Kenapa? Dengan makin kerasnya persaingan global dan media baru seperti sekaran ini, reputasi menjadi semakin penting. Dengan model bisnis di fluks, menambahkan Jones, "bagian dari jawabannya adalah untuk menemukan sumber-sumber pendapatan lainnya, yang mengapa reputasi menjadi seperti faktor besar. "
Bagaimana mereka membangun image mereka di luar negeri? Secara historis, universitas AS mengandalkan pertukaran mahasiswa dan fakultas untuk membangun image mereka di luar negeri. Baru dalam dekade terakhir, beberapa lembaga menambahkan program online skala kecil dan membangun cabang kampus di luar negeri (sekarang diperkirakan sedikitnya ada 200 di seluruh dunia), dengan tingkat keberhasilan yang beragam. "Ada beberapa perguruan tinggi yang masuk ke negara lain dan beberapa tahun kemudian balik lagi," kata Andrew Crisp dari Carrington Crisp, perusahaan konsultan pemasaran pendidikan yang berbasis di London. "Hal ini mendorong sekolah untuk melihat metode yang lebih modern dalam membesarkan merek dari sekadar cara-cara konvensional."
Cara-cara baru tersebut setidaknya diterjemahkan dalam bentuk website yang dirancang secara cerdas untuk menyampaikan pesan kunci kepada target marketnya. Universitas Buffalo (UB), yang menempati peringkat teratas di antara 20 lembaga US untuk pendaftaran internasional misalnya, merekrut 17% dari 28 ribu mahasiswa dari luar negeri dengan bantuan situsnya. UB mempelopori sttrategi "high touch" sejak akhir 1980-an mengandalkan pertemuan tatap muka dengan calon mahasiswa. UB adalah salah satu lembaga yang didanai publik yang memasarkan lembaganya ke luar negeri untuk bertemu dengan calon mahasiswa dan keluarga melalui pameran misalnya. Namun, sekarang UB harus bersaing dengan sekolah dari sesama AS, Inggris, Australia dan Kanada, dan negara-negara lainnya.
Untuk menambah value dari tatap muka, beberapa universitas sekarang mengubah website menjadi ajang dialog dan sebaliknya. Sekolah juga menggunakan platform media sosial seperti Facebook, Twitter dan LinkedIn untuk membantu mereka menyampaikan pesan kepada calon mahasiswa. Sementara itu, mahasiswa yang sudah terdaftar didorong untuk menjadi duta virtual yang “menjual” perguruan tinggi tempat mereka kuliah kepada rekan-rekannya. Mereka didorong untuk berbagi informasi pengalaman mereka selama kuliah, dan menanggapi pertanyaan secara rinci. "Semuanya terhubung," kata Michael Stoner, presiden mStoner, perusahaan konsultan branding dan pemasaran pendidikan tinggi AS.