Namun, strategi ini harus dilaksanakan dengan hati-hati dan sensitivitas. Menggunakan elemen agama dalam pemasaran memerlukan pemahaman yang mendalam tentang konteks sosial dan budaya di mana merek itu beroperasi. Ada risiko bahwa penggunaan yang tidak tepat dari simbol atau nilai agama dapat dilihat sebagai eksploitasi atau kurangnya rasa hormat, yang pada akhirnya bisa merusak reputasi merek.
Lalu bagaimana CEO yang menganut keyakinan agama tertentu harus mengintegrasikan nilai-nilai pribadi dan keyakinan ke dalam budaya perusahaan, dan apa dampaknya, baik positif maupun negatif. Apakah seorang pemimpin bisnis harus memisahkan keyakinan pribadinya dari kebijakan perusahaan, atau apakah lebih baik menggabungkannya untuk membentuk DNA korporat yang tidak resmi yang akan memandu etika perusahaan?
Pendirian etis yang kuat dan berakar pada keyakinan agama dapat menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, hal ini bisa membangun kesetiaan dan kepercayaan di antara pelanggan yang membagi nilai-nilai serupa. Di sisi lain, hal ini juga bisa menimbulkan alienasi dan kontroversi ketika nilai-nilai tersebut bertentangan dengan pandangan sebagian dari konsumen atau masyarakat luas.
Seperti banyak CEO hebat yang mengakui pentingnya memiliki "North Star" atau titik acuan tetap untuk menjaga arah etika mereka, baik secara pribadi maupun professional. CEO Chick-fil-A, Dan Cathy misalnya memilih imannya sebagai North Star. Ini serupa dengan pendiri Timberland yang mengikuti Yudaisme Ortodoksnya, atau CEO Whole Foods yang berlandaskan pada Buddhisme.
Mengintegrasikan iman dan pekerjaan membawa tantangan tersendiri. Bagaimana jika nilai-nilai yang diajarkan oleh iman seseorang, seperti menghormati hari Sabat, bertentangan dengan praktek umum di tempat kerja? Bagaimana jika iman seseorang mengajarkan perlakuan yang setara dan adil di tempat kerja terhadap wanita, minoritas, orang gay, dan penyandang disabilitas, tetapi budaya perusahaan atau negara tidak mendukung hal itu?
Di era di mana perilaku korporat yang tidak etis tampaknya tidak kunjung berakhir, menjadi semakin penting bagi para pemimpin bisnis untuk diikat dengan kompas moral yang kuat. Mereka membutuhkan dukungan dalam menciptakan budaya perusahaan yang etis di mana karyawan dapat menemukan makna dan tujuan, dan diperlakukan dengan martabat serta rasa hormat.
Oleh karena itu, sangat penting bagi perusahaan untuk melakukan riset yang mendalam dan berkolaborasi dengan ahli dari berbagai disiplin ilmu untuk memastikan bahwa penggunaan elemen keagamaan dalam pemasaran mereka dilakukan dengan cara yang otentik, sensitif, dan menghormati nilai-nilai dari target audiens mereka.
Dengan pendekatan yang tepat, integrasi elemen agama dan kepercayaan dalam aktivitas pemasaran tidak hanya dapat memperkuat posisi merek di pasar tetapi juga membangun sebuah hubungan yang bermakna dan berdampak positif pada kehidupan konsumen.
RUJUKAN
Kisieliauskas, J., & Milerytė, M. (2022). Religion and Cult Elements Integration in Marketing Activities Guide. Organizacijø Vadyba: Sisteminiai Tyrimai, (88), 101-120. https://doi.org/10.2478/mosr-2022-0015