Studi terbaru menunjukkan bahwa stigma dapat merusak citra merek dan mengurangi niat beli pelanggan lama. Merek-merek besar seperti McDonald's, Porsche dan Burberry mengalami atau perah mengalami penurunan nilai karena stigma asosiasi.
.
.
Stigma adalah label negatif yang mengasosiasikan individu dengan atribut tidak diinginkan, menyebabkan diskriminasi dan penurunan status sosial. Ini sering terkait dengan penyakit, perilaku, atau identitas tertentu dalam masyarakat.
Goffman (1963) menunjukkan bahwa stigma ini tidak hanya mempengaruhi individu yang memiliki ciri tersebut, tetapi juga dapat menyebar ke orang lain yang memiliki hubungan dengannya, sebuah fenomena yang dikenal sebagai "stigma oleh asosiasi."
Individu atau kelompok yang distigmatisasi dianggap sebagai cacat pribadi dalam konteks sosial, dan mengalami diskriminasi serta kehilangan status (Goffman 1963; Link & Phelan 2001; Rodhain & Gourmelen 2018).
Misalnya, dalam hubungan keluarga, jika seorang anak memiliki ciri yang distigmatisasi, orang tua mereka juga dapat terpengaruh karena stigma tersebut meluas melalui ikatan keluarga. Demikian pula, dalam konteks sosial seperti berbelanja, seseorang yang menggunakan kupon yang dianggap sebagai indikator status sosial ekonomi rendah bisa menimbulkan stigma kepada orang lain di sekitarnya, meskipun mereka sendiri tidak menggunakan kupon.
Dampak dari stigma ini juga relevan dalam konteks pemasaran dan pengelolaan merek. Ketika merek mencoba untuk memperluas basis pelanggannya, mereka mungkin tidak menyadari bahwa pengguna baru yang terstigma bisa berdampak negatif terhadap pengguna lama.
Berger dan Heath (2008) menemukan bahwa kelompok luar yang bersifat disosiatif memiliki pengaruh negatif yang lebih besar terhadap konsumen dibandingkan dengan kelompok luar lainnya. Kaitan sebuah merek dengan kelompok luar disosiatif dapat merusak evaluasi dan niat pembelian konsumen. Wen & Guo (2020) lebih lanjut mengusulkan bahwa kelompok luar disosiatif yang lebih dekat akan lebih berbahaya bagi sikap dan perilaku konsumen dibandingkan dengan kelompok luar disosiatif yang jauh.
Margariti et al. (2019) menemukan bahwa ketika sebuah merek memperluas basis pelanggannya (misalnya, perluasan merek ke bawah), hal ini dapat merugikan merek dan nilai simbolisnya. Sementara itu, penelitian lain menunjukkan bahwa penggunaan baru merek, seperti merek pariwisata, dapat memicu kebanggaan pengguna asli yang kemudian memberikan manfaat bagi citra merek (Bellezza & Keinan 2014).
Karena itu, efek dari pengguna baru tergantung pada keanggotaan kelompok mereka. Banyak studi telah menunjukkan bahwa konsumen dari kelompok yang tidak diinginkan dapat merusak citra merek dan koneksi merek dengan diri konsumen (White & Dahl 2006). Oleh karena itu, pengguna baru dengan stigma akan menurunkan sikap merek dari pengguna asli.
Torabika Cappuccino, yang merupakan produk dari PT Torabika Eka Semesta (bagian dari Mayora Group), sempat mengalami penurunan citra karena stigma yang terkait dengan iklan mereka yang dianggap tidak sesuai.
Torabika Cappuccino awalnya digemari oleh anak muda Indonesia...