STIGMA ASOSIATIF: ANCAMAN TERSEMBUNYI BAGI CITRA MEREK

Torabika Cappuccino awalnya digemari oleh anak muda Indonesia karena iklannya yang menampilkan gaya hidup modern. Namun, pada suatu titik, iklan yang memperlihatkan kedekatan antara pria dan wanita itu kemudian dikritik oleh sebagian masyarakat.

Mereka beranggapan bahwa iklan itu tidak sesuai dengan nilai-nilai konservatif dan norma sosial di Indonesia. Kritik ini memicu diskusi luas dan menjadi perbincangan hangat di media sosial, yang pada akhirnya menimbulkan stigma terhadap merek tersebut.

Stigma sosial yang terbentuk itu mulai mempengaruhi persepsi konsumen terhadap merek Torabika Cappuccino. Beberapa konsumen memilih untuk menghindari produk tersebut sebagai bentuk protes atau kekhawatiran akan asosiasi dengan nilai-nilai yang mereka tidak setujui. Ini contoh nyata dari bagaimana stigma oleh asosiasi dapat mempengaruhi sikap konsumen terhadap sebuah merek dan pada akhirnya berpotensi menurunkan penjualan.

McDonald's juga mengalami stigma serupa. Meskipun McDonald's adalah sebuah franchise global yang operasionalnya tergantung pada pemegang lisensi lokal, merek ini sering dilihat sebagai simbol kebijakan luar negeri Amerika Serikat, termasuk dukungan Amerika terhadap Israel.

Pada tahun 2002, Porsche memasuki pasar kendaraan sport utility dengan meluncurkan model Cayenne, sementara Burberry mencoba menarik konsumen dari berbagai segmen pasar dengan menampilkan Plaid Coklat (Brown Plaid) yang menjadi ciri khasnya.

Upaya kedua merek ini untuk menarik pengguna baru bertujuan meningkatkan penjualan, namun ternyata memicu reaksi yang tidak diharapkan. Porsche, misalnya, mengalami stigma "ibu sepak bola" dari konsumen “asli”nya ketika merek tersebut memperkenalkan SUV pertamanya. Sebagai produsen mobil sport yang terkemuka, Porsche berisiko kehilangan konsumen aslinya dengan target pasar baru tersebut.

"Ibu sepak bola" atau "soccer mom" adalah istilah yang berasal dari Amerika Serikat dan digunakan untuk menggambarkan seorang ibu dari pinggiran kota yang menghabiskan banyak waktu dan energinya untuk mengantarkan dan mendukung anak-anaknya dalam berbagai kegiatan, khususnya olahraga sepak bola.

Istilah ini sering kali mengandung konotasi tentang seorang ibu yang sangat terlibat dalam kehidupan sosial dan olahraga anak-anaknya, dan bisa juga mencakup aspek kehidupan mereka yang lain seperti sekolah dan hobi lainnya.

Dalam konteks media dan masyarakat, istilah ini terkadang digunakan untuk menonjolkan citra ibu yang ideal yang selalu ada untuk kebutuhan dan kegiatan anak-anaknya. Namun, istilah ini juga bisa digunakan secara stereotipikal atau merendahkan untuk menyiratkan bahwa ibu-ibu tersebut hanya memiliki minat atau identitas yang terbatas di luar dari peran mereka sebagai pendukung aktivitas anak-anak mereka.

Burberry menghadapi situasi serupa di sekitar tahun 2000, ketika merek itu menjadi populer di kalangan pemuda yang dikenal sebagai "chavs," yang berperilaku kasar dan anti-sosial. Mereka mengadopsi topi berlogo Burberry sebagai simbol, yang berakibat lama-kelamaan orang yang mengenakan Burberry diidentifikasi sebagai chavs, merusak citra merek tersebut.

Untuk menjauhkan diri dari citra chav, pelanggan elit Burberry mulai menghindari merek ini. Akibatnya, penjualan Burberry turun sebesar 40 persen. Sebagai tindakan perbaikan, Burberry menghentikan produksi topi kotak-kotak dan membeli kembali lisensi mereka, semata-mata untuk memulihkan reputasinya sebagai merek mewah.

Pages: 1 2 3

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)