Bango adalah pencerita yang baik. Mereka punya sebendel kisah tentang kuliner otentik Indonesia yang dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk meng-endorse merek kecap keluaran Unlever Indonesia tersebut. Simaklah bagaimana mereka bercerita tentang “kisah bacem” ketika meluncurkan anggota keluarga terbarunya, “Bango Bumbu Bacem” di restoran Kembang Goela , Jakarta, Kamis (11/12) kemarin.
Bango meluncurkan varian terbarunya yang bertajuk "Bango Bumbu Bacem"
Bacem, meminjam cerita pengamat kuliner Odilia Winneke, bukan sekadar nama makanan dengan tone manis yang berasal dari kawasan Jawa Tengah namun sudah merujuk pada suatu proses. Di sini juga terdapat proses perendaman (tahu, tempe atau bahan makanan lainnya) dengan bumbu –terutama gula—dan merebusnya dalam tempat tertutup sampai habis airnya. Tidak heran kalau dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata “bacem” sendiri masuk dalam kategori kata kerja
“Makanya kalau di Jawa Tengah ada kelakar, tak bacem, kowe,” timpal selebriti boga Siska Soewitomo bercanda, sembari menekankan bahwa bacem menjadi istimewa karena proses slow cooking-nya yang sudah tercatat dalam sejarah kuliner Indonesia.
“Kisahnya tidak lepas dari sejarah culture stelsel yang dipaksakan penjajah Belanda, yang untuk kawasan Jawa dipilih tanaman tebu,” lanjutnya Odi lagi. Melimpahnya produk gula inilah yang menjadi musabab mengapa kuliner yang berasal dari wilayah Jawa Tengah pedalaman (seperti Solo dan Jogja) didominasi rasa manis.
Dalam perjalanannya, bacem menjadi istimewa karena turut hadir di salah satu hidangan kemakmuran. Bacem adalah bagian dari susunan unik Nasi Tumpeng yang dilakukan berdasarkan diversifikasi pangan, kelengkapan, keseimbangan menu, kelezatan, dan kesejahteraan spiritual. “Semakin jelas bahwa Bacem adalah sebuah hidangan otentik yang patut kita banggakan dan lestarikan,” tambah Odi.
Sayangnya, hidangan Bacem tidak terlalu sering kita jumpai dalam menu sehari-hari di rumah karena teknik meracik dan mengolahnya yang cukup menantang. Sisca bertutur, ”Membuat Bacem memang memerlukan perhatian dan ketelatenan khusus karena kelezatannya sangat tergantung pada takaran bumbu yang pas serta teknik pengolahan yang tepat.” Ada beberapa tahapan yang harus diperhatikan; mulai dari memilih dan menakar bumbu, proses menyangrai ketumbar, mengulek bumbu halus, mengungkep bahan dan bumbu dalam kurun waktu yang cukup, hingga proses menggoreng sehingga tahu, tempe atau bahan makanan lainnya matang sempurna dan berwarna cantik.
Berdasarkan riset internal yang dilakukan sekitar 1,5 tahun sebelum peluncurkan varian baru ini, Unilever sendiri menemukan, rata-rata keluarga obyek riset hanya memasak bacem 2 kali setahun karena alasan cara masaknya yang makan waktu dan butuh usaha tersendiri. Padahal mereka mengaku sebenarnya juga sering kangen dengan jenis masakan ini. Insight itulah,tutur Nuning Wahyuningsih, Senior Brand Manager Bango, PT Unilever Indonesia Tbk, yang menjadi alasan mereka meluncurkan varian Bango Bumbu Bacem yang memberikan solusi praktis dalam hal peracikan bumbu kepada konsumen.
”Kami mengamati bahwa Bacem adalah hidangan yang sangat otentik dan digemari. Meski berasal dari tanah Jawa, namun Bacem bisa diterima dan dinikmati oleh semua lapisan masyarakat dari berbagai wilayah Nusantara, salah satu alasannya karena hidangan ini salah satunya berbahan dasar kecap, salah satu bumbu pemersatu keragaman kuliner Nusantara,” ujarnya.
Diluncurkan pertama dalam kemasan alumunium foil berukuran 60 ml pada level harga Rp 3.000, Bango Bumbu Bacem menawarkan dua pilihan untuk konsumen. Bumbu Ayam Goreng Bacem untuk 1 ayam kampung atau setengah ayam negeri (500gr), dan Bumbu Tempe dan Tahu Bacem untuk 1 papan tempe atau 1 kantong tahu (500gr).