MIX.co.id – Fakta memprihatinkan tentang kesehatan mental remaja di Jakarta terungkap dari hasil penelitian terbaru yang dilakukan oleh Health Collaborative Center (HCC) dan Fokus Kesehatan Indonesia (FKI) bersama Yayasan BUMN melalui inisiatif ‘Zona Mendengar Jiwa.’
Fakta memprihatinkan tersebut adalah sebanyak 34 persen pelajar SMA di Jakarta memiliki indikasi masalah kesehatan mental, dengan 3 dari 10 pelajar sering menunjukkan perilaku marah dan cenderung berkelahi akibat gangguan mental emosional. Penelitian melibatkan para siswa SMA di Jakarta.
Menurut Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi selaku ketua tim peneliti HCC, data temuan 34 persen risiko gangguan mental emosional ini merupakan indikasi gangguan kesehatan jiwa remaja di kota besar seperti Jakarta dan dapat dijadikan angka prevalensi.
Namun, ia menekankan, yang lebih penting adalah hasil skrining ini menggambarkan indikasi gangguan emosional dan kesehatan mental pelajar SMA di Jakarta.
“Ini merupakan risiko yang harus dianalisis lebih mendalam, sebab data temuan tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan data atau bahkan hipotesis kajian-kajian sebelumnya,” ujar Ray Wagiu dalam paparan penelitian kepada awak media, Selasa (17/12), di Jakarta.
Temuan lain penelitian menyebutkan, terdapat 10 persen pelajar SMA yang merasa rentan dengan kondisi status kesehatan mentalnya. Hal ini didasarkan dari perspektif dan pemaknaan remaja terkait risiko/kerentanan diri untuk mengalami masalah/gangguan kesehatan mental.
Kondisi ini, ditengarai oleh Ray, menjadi tanda awas bahwa self-awareness atau aspek kesadaran diri remaja terhadap kesehatan mental sebenarnya masih rendah, meskipun sudah banyak informasi mendalam yang tersedia mengenai kesehatan mental.
Ketika berinteraksi di sekolah, para pelajar SMA yang menjadi responden pada penelitian ini juga cenderung lebih memilih teman untuk menjadi tempat konsultasi dan diskusi terkait masalah kesehatan mental mereka, bukan guru di sekolah.
Bahkan, hampir 7 dari 10 (67 persen) pelajar SMA terbukti tidak ingin mengunjungi ruang Bimbingan Konseling (BK).
Hal ini membuktikan bahwa peran teman sebagai rekan konseling sebaya atau peer counselor bisa menjadi salah satu agen mitigasi.
Mantan Menteri Kesehatan, Prof. Nila Moeloek yang juga peneliti dari FKI menuturkan, pelajar usia remaja tetap merupakan individu yang masih perlu bimbingan sehingga konsultasi antar sesama tetap harus disiasati dan sifatnya hanya sebagai saluran bercerita, bukan sebagai upaya mitigasi konseling.
“Sebab, ada kemungkinan potensi saran tidak akurat. Makanya,...