Pemerintah tengah gencar mendorong Indonesia menjadi ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara dengan nilai pasar mencapai US$ 130 miliar di tahun 2030. Untuk mencapai target tersebut, tentu saja pemerintah bersama pihak swasta harus mampu bersinergi menciptakan iklim bisnis yang kondusif. Dengan demikian, di era Masyarakat Ekonomi ASEAN ini, Indonesia tidak hanya menjadi pasar. Melainkan, juga dapat mencicipi "kue" besar dari industri Information Communication and Technology (ICT).
Langkah pertama yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan memahami terlebih dahulu atas perubahan struktur bisnis di industri ICT. Pada acara Indonesia Technology Forum yang digelar hari ini (21/12) di Jakarta, dijelaskan Nonot Harsono, akademisi telekomunikasi sekaligus Chairman Mastel Institute, "Dulu, jantung bisnis ICT adslah jaringan dan kendali ada di bawah operator jaringan. Selanjutnya, yang dijual adalah konektivitas. Saat ini, struktur bisnis tersebut telah bergeser. Saat ini, jantung industri berbasis DNA, yakni Device, Network, Application."
Oleh karena itu, disarankan Nonot, sudah seharusnya pemerintah fokus pada DNA. Misalnya, untuk elemen Device--seperti produk handphone, tablet, dan hardware lainnya--pemerintah dapat menata ulang kebijakan TKDN (tingkat komponen dalam negeri) bagi para produsen produk-produk ponsel, tablet, dan lainnya.
Selanjutnya, pada elemen Network, pemerintah dapat menetapkan kebijakan yang memberikan posisi tawar yang menguntungkan. Misalnya, menata ulang kebijakan jaringan pita lebar. Adapun pada elemen Application, pemerintah dapat gencar mendorong bertumbuhnya startup lokal lewat gerakan 1.000 startup. Termasuk, menciptakan industri kreatif berbasis konten dan aplikasi hingga keterampilan digital (digital skill).
Ditambahkan Tulus Abadi, Ketua Pelaksana Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), bisnis ICT adalah bisnis yang sangat menggiurkan. Mengapa? Menurut Tulus, biaya berkomunikasi sudah menjadi kebutuhan pokok konsumen, bahkan kebutuhan yang adiktif. "Merujuk hasil riset Nielsen, Rumah Tangga kelas menengah bawah rupanya lebih ikhlas mengurangi belanja kebutuhan pokok mereka dibandingkan harus mengurangi belanja komunikasi mereka," papar Tulus.
Fakta menarik lainnya yang juga perlu dicermati oleh pemerintah maupun pihak swasta adalah pengaduan konsumen. Dalam lima rahun terakhir, jasa telekomunikasi menempati tingkat pengaduan tertinggi di Indonesia. Jika tahun 2015 industri telekomunikasi menempati posisi ketiga di tingkat pengaduan tertinggi di YLKI, maka 2016 posisinya masih belum bergeser jauh, yakni posisi keempat dengan tingkat pengaduan tertinggi.
Lantas, aduan apa yang paling tinggi yang dikeluhkan konsumen Indonesia? Dijawab Tulus, ada tiga keluhan tertinggi. Pertama, informasi tarif yang dinilai tidak jelas, termasuk kenaikan tarif. Kedua, kualitas jaringan yang dinilai masih buruk. Ketiga, iklan yang menyesatkan bagi konsumen.
Sementara itu, menurut Agus Pambagio, pengamat kebijakan publik, industri telekomunikasi sangat dinamis mengkritik regulasi yang belum sesuai dengan perkembangan teknologi seluler. “Yang harus dilakukan oleh Revisi UU No.36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan atau segerah sahkan Perubahan PP No.52 dan 53 tahun 2000. Pada dasarnya, Kemenkominfo harus dapat melindungi dan melayani kebutuhan publik serta dapat menciptakan iklim usaha telekomunikasi yang penuh kepastian agar produk-produk kompetitif," tegasnya.