Pasca penarikan produk mie instan Maggi di India yang diduga mengandung timah hitam berbahaya, CEO Nestle Paul Bulcke akhirnya angkat bicara. Melalui konferensi pers (5/6) yang dilakukan di kota Mumbai tersebut, Bulcke berusaha menekan citra negatif perusahaan di mata masyarakat dunia akibat skandal di India tersebut.
Strategi penanganan krisis PR yang dilakukan oleh Nestle pada kasus mie instan Maggi belum efektif
Konferensi pers tersebut merupakan kali pertama Nestle menunjuk seorang spokeperson untuk mengungkapkan tanggapan perusahaan mengenai krisis. Biasanya, Nestle hanya mengandalkan pers rilis lalu disebarkan melalui sosial media. Meskipun dilarang peredarannya selama 15 hari di India, Nestle mengungkapkan bahwa mereka tetap yakin jika produk Maggi benar-benar aman. Mereka juga menyatakan bahwa perkembangan isu yang liar saat ini telah menyebabkan kebingungan di kalangan konsumen. Hanya saja, apa yang diungkapkan oleh Bulcke tersebut bertolak belakang dengan langkah yang ditempuh Nestle. Mereka mengatakan produknya aman, namun tetap menarik Maggi dari peredaran di India.
Lalu, apakah strategi pengelolaan krisis PR yang dialami oleh Nestle sudah efektif? Menurut Gary Scattergood dalam artikelnya yang dilansir oleh www.prweek.com, strategi komunikasi yang dilancarkan oleh Nestle cenderung lambat. Hal tersebut juga diamini oleh Integral PR chairman India Sharif Rangnekar. Menurut Rangnekar, besarnya dampak yang dialami oleh Maggi disebabkan karena mereka adalah market leader dominan di India.
"Saya telah melihat beberapa brand gagal untuk engage dengan para stakeholder kunci ketika mereka tengah berupaya mengembangkan "trust" di antara kalangan konsumen. Sayangnya, banyak brand yang lupa untuk berkoordinasi dengan pemerintah dan pihak otoritas ketika sedang sibuk meyakinkan konsumen. Sebagai hasilnya, mereka tidak memiliki "teman" atau pihak yang memberikan "peringatan lebih lanjut" sehingga pada akhirnya brand tersebut kesulitan untuk mengubah status quo." tandas Rangnekar sebagaimana ditulis oleh Scattergood.
Krisis di dunia F&B bukan pertama kalinya terjadi di India. Sebelumnya, pada tahun 2012 sebuah koran unggulan menulis tentang potensi masalah kesehatan akibat produk makanan cepat saji di India. Dua tahun yang lalu, artikel sejenis kembali muncul hanya saja artikel tersebut tidak sampai membuat masyarakat resah dan pemerintah tidak sampai harus turun tangan.
Sementara itu, pengamat PR India lainnya Sanjay Bose mengungkapkan bahwa kekurangan Nestle dalam hal perencanaan krisis jangka panjang maupun pendek sangat mudah terlihat. "Di industri yang rentan mengalami krisis seperti F&B, ada sesuatu yang disebut dengan "golden hour" yakni di mana Anda perlu melakukan sesuatu secepat mungkin jika Anda tidak ingin brand kehilangan nyawa. Saya kira, Nestle telah kehilangan waktu kritis berharga mereka karena mereka menghabiskan waktu untuk memetakan situasi dan merencanakan strategi ketimbang dengan bersiap-siap dan menghadapi situasi secepat mungkin. Pada saat Anda memberika ruang untuk munculnya spekulasi, maka brand Anda akan semakin tersiksa."
Scattergood juga berpendapat bahwa Nestle gagal meredam masalah menggunakan sosial media. Meskipun banyak user yang menyampaikan kritiknya melalui akun Twitter. Para user tersebut tidak hanya mengkritik produk Maggi, namun juga mengungkit kembali kritik mereka mengenai masalah produk susu bayi yang juga pernah dialami oleh Nestle. Sayangnya Nestle tidak mau menanggapi komentar-komentar tersebut untuk lebih jauhnya.
"Media perlu untuk memberikan perspektif yang sebenarnya dibandingkan hanya memberikan kesempatan bagi publik untuk berspekulasi. Di lain pihak, Nestle pun patut disalahkan karena alih-alih menggunakan pendekatan yang terencana, mereka justru memberikan respon yang sifatnya gegabah," tandas Bose.
Bose juga menyampaikan kritik kerasnya terhadap pernyataan CEO Nestle mengenai keyakinan mereka bahwa Maggi ditarik karena adanya kebingungan pada masyarakat namun akan segera kembali ke rak-rak retail di India. "Saya rasa, berita tentang Nestle yang menarik mie Maggi dari pasar India akibat 'kebingungan di kalangan konsumen' adalah sebuah keputusan yang buruk. Keputusan ini justru akan semakin menyulut api," ungkapnya.
Lalu seperti apakah strategi PR yang seharusnya ditempuh oleh Nestel? Menurut Rangnekar dalam artikel Scattergood ini, Nestle harus menggunakan pendekatan terbuka dengan pemerintah dan regulator India. Merka juga perlu untuk meningkatkan respon komunikasi, sesuatu yang akan lebih mudah untuk diucapkan dibanding praktiknya untuk perusahaan yang terkenal tidak proaktif melancarkan strategi media engagement. Nestle harus mau berpartisipasi bekerja sama dnegan pemerintah untuk menyelesaikan masalah, dibandingkan hanya mengacuhkannya. Solusi tersebut adalah dengan mengubah beberapa komposisi produk Maggi. Namun langkah ini juga di sisi lain membuktikan bahwa memang selama ini terjadi penyimpangan dalam pembuatan produk mie instan tersebut." tutup Rangnekar.