Kopi di Kosta Rika bukan sekadar minuman. Ia adalah warisan budaya yang kini tengah diuji oleh arus urbanisasi, perubahan sosial, dan krisis identitas di kalangan mahasiswa muda.
.

.
Budaya kopi di Kosta Rika telah mengakar selama lebih dari 175 tahun, tak hanya sebagai rutinitas minum harian, tetapi sebagai praktik sosial yang diwariskan turun-temurun (UNESCO, 2016; Instituto de Cafe de Costa Rica, 2015).
Namun, di tengah transisi dari ekonomi agraris ke ekonomi jasa, budaya kopi ini mengalami pergeseran yang signifikan—terutama di kalangan muda, seperti mahasiswa universitas (Aguirre, 2016).
Dulu, secangkir kopi di pagi hari adalah simbol keterikatan keluarga dan nilai kebersamaan. Ibu, sebagai figur sentral dalam rumah tangga, memainkan peran penting dalam memperkenalkan anak-anak pada kopi—baik secara rasa, nilai, maupun ritual (Bandura, 1989; Bussey & Bandura, 1999).
Namun, ketika peran ibu bergeser ke ruang kerja, dan waktu bersama di rumah semakin terbatas, kopi tak lagi hadir dalam konteks kekeluargaan seperti sebelumnya (Giddens, 2000).
Studi Aguirre (2016) menunjukkan bahwa meskipun 70% mahasiswa masih mengonsumsi kopi, peran tradisi, orang tua, dan rumah masih dominan—terutama bagi perempuan. Bagi laki-laki, tempat konsumsi kopi justru bergeser ke restoran dan tempat kerja.
Hal ini mencerminkan realitas sosial yang lebih luas, di mana perempuan cenderung tinggal lebih lama di rumah, sementara laki-laki lebih cepat mandiri dan terhubung dengan ruang publik.
Menariknya, meski frekuensi konsumsi tidak berkorelasi kuat dengan budaya kopi itu sendiri, tempat dan konteks sosial menjadi penentu penting. Konsumsi kopi hari ini bukan semata kebutuhan kafein, melainkan juga tentang di mana, dengan siapa, dan mengapa kopi dikonsumsi (Giddens, 2000; Reckwitz, 2002; Whittington, 2006).
Sosialisasi menjadi salah satu alasan utama—baik bersama keluarga, teman umum, atau teman kampus (Aguirre, 2016).
Namun, ada tantangan besar: kualitas dan harga. Banyak mahasiswa menolak kopi instan atau hasil mesin otomatis yang dianggap tidak sepadan dengan biaya. Mereka membandingkannya dengan kopi yang dibuat secara tradisional di rumah—aromanya lebih kaya, rasanya lebih jujur (Espiritu Santo Coffee Tour, 2016). Hal ini menunjukkan bahwa nostalgia dan standar kualitas masih melekat kuat dalam persepsi mereka.
Kondisi ini membuka ruang untuk strategi pemasaran yang...