MIX.co.id - Studi “Eksploitasi, Kekerasan Seksual, dan Perundungan Online di Indonesia”, yang dirilis Childfund International di Indonesia (CFI) mengungkapkan bahwa eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) secara daring telah berkembang menjadi berbagai bentuk. Mulai dari produksi, kepemilikan, distribusi materi pelecehan dan eksploitasi seksual anak secara daring, live streaming pelecehan seksual anak, online grooming, hingga pemerasan dan pemaksaan seksual.
ChildFund menemukan ESKA dapat menjadi masalah yang kompleks, dan anak-anak mungkin mengalami banyak eksploitasi dalam satu rangkaian kejahatan. Kajian menunjukkan bahwa teknologi dapat digunakan untuk memperluas kekerasan di kehidupan nyata.
Studi ini juga menjumpai fakta bahwa 5 dari 10 anak usia 13-24 tahun menjadi pelaku perundungan online, sementara 6 dari 10 orang muda menjadi korban. Dalam rentang usia 13-24 tahun, anak berusia 13-15 tahunlah yang memiliki kerentanan tertinggi menjadi korban perundungan (64,5%).
Anak laki-laki dan perempuan memiliki risiko yang sama menjadi pelaku atau korban perundungan online. Namun, anak laki-laki memiliki kemungkinan tinggi menjadi pelaku, sementara anak perempuan menjadi korban. Sementara itu, siswa SMA lebih mungkin menjadi pelaku dan korban perundungan online dibanding siswa SMP ataupun mahasiswa perguruan tinggi.
Menyikapi hal itu, CFI meluncurkan inisiatif Swipe Safe. Inisiatif yang didukung oleh ChildFund Australia dan Australia Government itu bertujuan agar masyarakat dapat menavigasi internet dengan aman melalui edukasi anak, orang tua, penyedia layanan dan sekolah mengenai potensi risiko online. Melalui inisiatif ini, CFI juga memberikan keterampilan praktis bagaimana melindungi diri mereka dari risiko eksploitasi seksual, kekerasan seksual, penipuan, dan peretasan di dunia online.
“Inisiatif Swipe Safe juga bekerja sama dengan sekolah untuk mengembangkan kebijakan sekolah dan prosedur keamanan online bagi anak,” jelas Spesialis Perlindungan Anak dan Advokasi ChildFund International di Indonesia Reny Haning pada Media Briefing Swipe Safe Initiative di Jakarta, hari ini (17/3).
Lebih jauh ia menjelaskan, CFI juga menggandeng jurnalis dalam memperkenalkan program Swipe Safe guna membentuk kultur digital yang positif, serta membantu orang tua dan tenaga pendidik dalam menavigasi dunia maya dengan lebih baik.
Sejatinya, media massa sebagai kanal informasi tentunya memiliki peran penting dalam menyebarkan informasi baru dan mendidik masyarakat tentang wawasan dan perspektif baru, khususnya terkait pemberitaan yang ramah anak.
“Kurangnya pemahaman dan kesadaran yang baik akan perundungan online, termasuk kompetensi digital yang memadai, bisa menjadikan orang tua dan tenaga pendidik menganggap internet tidak berbahaya. Dengan demikian, mereka cenderung kurang mengawasi aktivitas daring sang anak. Karena itulah, diperlukan adanya partisipasi dari media massa untuk turut mengedukasi orang tua dan tenaga pendidik sebagai bekal dalam mengawasi serta menanggapi kasus-kasus kekerasan pada anak dan orang muda yang ada di dunia daring,” terang Reny.
Pada kesempatan yang sama, Rini Suryati, Ketua Forum Wartawan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Fortapena), menambahkan, dalam perjalanannya, media massa telah berkembang menjadi saluran komunikasi yang masif dan berdampak besar dalam sendi kehidupan masyarakat.
“Besarnya pengaruh media terhadap kehidupan masyarakat ini terkadang menjadi suatu permasalahan, terlebih ketika kebebasan yang ada di media massa justru disalahgunakan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, kita sebagai jurnalis harus menjadi lebih peka dan peduli untuk terus bersama memberikan edukasi terbaik untuk masyarakat, khususnya melalui pemberitaan yang ramah anak,” jelas Rini.