IBF 2015: 5 Deklarasi Untuk Kebangkitan Merek Indonesia

Dalam 5 tahun terakhir kelas menengah Indonesia terbilang tumbuh cepat. Saat ini kelas menengah Indonesia bertambah menjadi 60% atau sekitar 140 juta penduduk. Sayangnya, market yang besar ini hanya dikuasai oleh merek global. "Kita bukan negara miskin lagi. Produk pangan, sandang, papan, serta kebutuhan hidup lainnya seperti telekomunikasi, elektronik, hingga hiburan tak bisa dilepaskan dari merek mancanegara. Dapur, kamar mandi, ruang tamu kita dikuasai asing," ujar Yuswohady CEO Inventure dan Program Director IBF 2015.

ibf2015 Sesi Press Confeerence Indonesia Brand Forum ( IBF 2015 )

Berangkat dari fakta tersebut, Indonesia Brand Forum kembali diselenggarakan dengan mengusung tema Global Chaser: Merek Indonesia Perkasa di Pentas Dunia, pada Rabu (20/5). Pada forum ini, IBF menghadirkan sejumlah pembicara yang berasal dari merek lokal yang mampu menembus dan membangun merek di pasar global. Diantaranya adalah Indomie yang berhasil menjadi household brand di berbagai negara seperti Nigeria dan Arab Saudi, Pertamina Lubricants yang mengakuisisi Amaco Thailand, dan Kopiko yang mendominasi pasar Filipina, Tiongkok, dan Polandia.

Lewat gelaran ini, ada lima butir yang digelorakan sebagai upaya membangkitkan kejayaan merek Indonesia di pasar global, terutama menjelang MEA.

Pertama adalah pemerintah harus membantu mengambangkan merek nasional di tengah dominasi asing. "Pemerintah harus hadir untuk membangun dan mengembangkan brand lokal. Karena pertandingan antara global brand dan lokal brand itu pertandingan kelas berat lawan kelas bulu. Merek global punya sumber daya berupa modal, teknologi, manajemen, dan SDM yang tidak tertandingi," paparnya. Pertandingan yang tidak berimbang menjelang era MEA dan di tengah pasar global ini mengharuskan peran aktif pemerintah untuk membangun merek nasional seperti yang dilakukan Jepang, Korea, dan Singapura.

Poin kedua adalah masyarakat Indonesia harus membangun nasionalisme konsumen dengan cara membeli, menggunakan, dan mengonsumsi merek Indonesia. "Kenapa Hyundai sukses di negeri asalnya? Karena 90% mobil di korea adalah Hyundai. Toyota itu tidak laku. Masyarakat korea sangat confident untuk menggunakan merek dalam negeri," tambah Siwo.

Selanjutnya, poin ketiga adalah menciptakan value added untuk komoditas yang menjadi andalan seperti teh, kopi, kelapa sawit, dan cokelat melalui brand building sehingga memiliki nilai tinggi di pasar. Sumber daya alam yang melimpah di Indonesia semestinya jangan hanya dijadikan barang mentah bernilai tambah rendah.

Keempat, Indonesia harus mengembangkan pendekatan Indonesia Inc. dalam membangun brand dengan cara menyatukan potensi kekuatan pemerintah, swasta, dan masyarakat. Konsep ini sudah diterapkan di negara lain seperti Jepang yang dikenal dengan istilah Sogo Sosha, Korea dengan istilah Chaebol, dan Singapura yang mengembangkan Termasek.

Terakhir adalah dengan mewujudkan kemerdekaan merek lokal dengan cara menempatkannya menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Dominasi merek global harus dilawan dengan meningkatkan daya saing. Untuk meningkatkan daya saing itu, Yuswohadi menekankan bahwa caranya bukan dengan memusuhi merek global. "Merek lokal harus bersinergi dan berkolaborasi dengan mereka secara cerdas karena merekalah yang memiliki modal, manajemen, dan SDM. Seperti yang dilakukan antara Indofood dan Fritolay," paparnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)