MIX.co.id - Emisi gas rumah kaca masih menjadi salah satu isu lingkungan yang masih hangat diperbincangkan di Indonesia. Cukup dimaklumi, mengingat data World Resources Institute menyebutkan bahwa Indonesia menyumbang 2,03% emisi gas yang mengotori udara dunia. Itu artinya, Indonesia menempati peringkat 10 tertinggi di dunia.
Diungkapkan I Gusti Ayu Andani dari Kelompok Keahlian Sistem Infrastruktur Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Bandung (ITB), dalam webinar “Mengulik Sustainability Sektor Transportasi Lewat Teknologi” yang digelar FORWAT (Forum Wartawan Teknologi) pada Mei ini (25/5), tak hanya soal kontribusi emisi gas Indonesia yang masuk peringkat 10 tertinggi dunia, tapi yang harus dikhawatirkan adalah level rata-rata emisi gas rumah kaca di Indonesia yang terus meningkat. "Peningkatan level emisi di Indonesia tiap tahun lebih tinggi daripada rate global. Itu artinya, tak ada penurunan secara signifikan," ucapnya.
Senada dengan Ayu Andani, Executive Director Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa menegaskan bahwa emisi dari sektor transportasi menyumbang 27% dari total emisi atau sekitar 160 juta ton di Indonesia pada tahun 2020. Total emisi pada tahun 2020 sebesar 590 juta ton dan diperkirakan akan terus naik jika tidak dilakukan intervensi.
"Penyumbang emisi terbesar pada tahun 2020 berasal dari sektor ketenagalistrikan sebesar 35%, yang diikuti dengan sektor transportasi yang mencapai 27%. Agar mencapai Net Zero Emission (NZE) di tahun 2050 di seluruh dunia, diperlukan dekarbonisasi pada kedua sektor tersebut, khusus sektor transportasi, salah satunya adalah dengan peralihan kendaraan listrik," saran Fabby.
Oleh karena itu, kendaraan listrik harus menguasai 40% total penjualan kendaraan pada tahun 2030 secara global untuk mencapai net zero emission pada tahun 2050. Sayangnya, peralihan dari kendaraan konvensional ke kendaraan listrik bukan perkara mudah. Di Indonesia, misalnya, hanya 3.500 unit kendaraan listrik roda dua dan 1.800 unit kendaraan listrik roda empat yang terjual pada tahun 2021. “Salah satu tantangan terbesarnya adalah membangun ekosistem pendukungnya, terutama stasiun pengisian ulang baterai dan juga penggantian baterai (swap).
Diimbuhkan Ayu, upaya berkelanjutan untuk mencapai NZE dari sektor transportasi tak melulu harus menggunakan teknologi pintar yang terlalu rumit. Beberapa ciri sistem transportasi pintar yang bisa diimplementasikan adalah shared mobility, elektrik mobility, dan integrated mobility.
"Shared mobility adalah ride sharing seperti yang sudah diterapkan perusahaan seperti Gojek. Juga mobilitas yang terintegrasi dimana semua angkutan sudah terkoneksi dan terintegrasi satu sama lain. Sedangkan elektrik mobility adalah menggunakan kendaraan yang lebih ramah lingkungan seperti kendaraan listrik," urai Ayu.
Idealnya, semua infrastruktur transportasi ramah lingkungan harus berkesinambungan. Tak hanya menyediakan kendaraan listrik, tapi juga infrastruktur pendukung lainnya, seperti pengisian ulang daya listrik.
Pada kesempatan yang sama, Vice President Corporate Affairs Gojek Teuku Parvinanda mengungkapkan bahwa Gojek sejak tahun lalu sudah memiliki komitmen untuk mewujudkan Nol Emisi Karbon (Zero Emissions) pada tahun 2030 sebagai bagian dari keseriusan Gojek untuk mencapai target Tiga Nol (Three Zeroes) pada tahun yang sama, yaitu Nol Emisi Karbon, Nol Sampah (Zero Waste), dan Nol Hambatan (Zero Barries) .
"Ramah Lingkungan juga merupakan isu yang relevan dan perlu menjadi perhatian serta prioritas kita bersama. Niat untuk memberikan yang terbaik bagi para pihak dalam ekosistem kami sudah ada sejak awal, dengan mengatasi tantangan nyata yang dihadapi warga Indonesia setiap harinya. Oleh karena itu, kami hadirkan beragam inovasi mulai dari kehadiran fitur GoGreener pada aplikasi kami, uji coba kendaraan listrik, hingga GoTransit," paparnya.
Selain itu, Gojek juga telah mempercepat proses transisi menuju kendaraan listrik (EV) di Indonesia dengan melakukan uji coba 500 unit EV roda dua di Jakarta Selatan. Guna menjawab tantangan infrastruktur kendaraan listrik, Gojek berkolaborasi dengan Pertamina untuk menyediakan stasiun penukaran baterai, di tujuh pompa bensin Pertamina di Jakarta Selatan. Dengan demikian, mitra driver Gojek bisa mencoba motor listrik dengan keuntungan operasional yang lebih murah dibandingkan dengan motor konvensional.
"Di akhir 2021, Gojek berkolaborasi dengan TBS Energi Utama telah membentuk Electrum untuk mengembangkan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia. Kemudian di Februari 2022, komitmen ini kami perkuat lagi bersama beberapa pihak, yaitu Pertamina, Gesits, Gogoro, serta menghadirkan layanan GoRide elektrik. Dengan demikian, selain menghadirkan moda transportasi ramah lingkungan, kami pun memastikan kemudahan akses bagi konsumen dan juga mitra kami," lanjutnya.
Program hijau lainnya yang dilakukan Gojek adalah fitur GoGreener yang mengajak konsumen 'menanam pohon' sambil jalan naik GoRide dan GoCar, sebagai bagian dari kontribusi individu untuk menyerap jejak karbon. Sejak fitur ini diluncurkan, Gojek bersama konsumennya telah berhasil mengumpulkan, menanam ataupun mengadopsi 5.000 lebih pohon di 13 lokasi berbeda melalui fitur GoGreener Serap Jejak Karbon (GoGreener Carbon Offset).
Fabby berharap, upaya Gojek tersebut, khususnya dalam menghadirkan infrastruktur kendaraan listrik yang komprehensif dan ramah lingkungan, dapat diikuti oleh perusahaan transportasi lainnya.
“Berbagai inisiatif seperti yang dilakukan Gojek, khususnya penggunaan kendaraan listrik, dapat menurunkan emisi karbon sebesar 28% pada kendaraan roda empat dan 55% pada kendaraan roda dua. Apalagi, Total Cost Ownership kendaraan listrik semasa hidup baterai, 20% lebih murah dibandingkan dengan kendaraan konvensional,” pungkasnya.