Ini Lima Preferensi Jurnalis Selama Menjalani Tugas di Masa WFH

Kebijakan Work Form Home (WFH) yang diberlakukan selama Pandemi Covid-19 tak hanya berpengaruh pada perilaku konsumen dalam beraktivitas. WFH rupanya juga mempengaruhi perilaku jurnalis dalam bekerja atau mencari informasi untuk pemberitaan media mereka.

Studi "Apa yang Jurnalis Butuhkan Selama WFH" yang dirilis Imogen Communications Institute (ICI) terhadap 115 jurnalis dari media cetak dan online di seluruh Indonesia selama 1-15 April 2020, mengungkap lima fakta terkait preferensi jurnalis dalam menjalani tugas mereka selama WFH.

"Hasil studi atau Communications Insight Report seperti ini akan kami keluarkan secara berkala. Studi ini akan mengidentifikasi issue-issue komunikasi terkini, strategi komunikasi yang berlaku saat ini, dan juga memprediksi tren komunikasi ke depan," kata Jojo S. Nugroho, Principal Imogen Communications Institute Managing Director Imogen PR.

Fakta pertama adalah 77,2% jurnalis menjalani WFH selama Pandemi Covid-19. Sementara itu, 11,9% tetap bekerja di lapangan seperti biasa. Sisanya, mengaku bekerja dengan sistem shifting (2-3 hari WFH dalam seminggu).

Fakta kedua, jurnalis lebih suka konferensi pers online selama WFH. Terbukti, lebih dari separuh jurnalis atau 61,4% responden memilih melakukan konferensi pers online untuk mencari berita. Kemudian, disusul oleh 28,7% jurnalis yang lebih memilih metode menerima siaran pers dan 9,9% lebih memilih siaran pers berupa video.

"Konferensi pers online lebih disukai jurnalis, karena memungkinkan mereka untuk bertanya secara langsung kepada narasumber, khususnya jika narasumber dari konferensi pers tersebut adalah pakar atau orang yang kredibel serta relevan di situasi sekarang. Apalagi, jika mereka sulit dihubungi secara pribadi, sehingga konferensi pers online bisa menjadi sarana yang tepat bagi jurnalis untuk bertanya secara langsung," papar Jojo.

Fakta ketiga, jurnalis lebih menyukai aplikasi yang bisa live chat dan direkam. Studi ini mengungkapkan, Zoom Meeting disukai oleh 44,6% jurnalis. Adapun 37,6% menyukai Youtube Live Streaming dan hanya 9,9% yang memilih Live Instagram. Sisanya, memilih Skype serta Google Meet.

"Zoom meeting dan Youtube live streaming dianggap lebih sesuai untuk melakukan konferensi pers online. Lantaran, kedua medium ini memiliki fitur kolom komentar atau live chat untuk sesi tanya jawab dan fitur rekam yang memungkinkan mereka menonton kembali konferensi pers yang sudah berlangsung. Hal ini diperkuat oleh tanggapan dari 57,4% responden dalam memilih mekanisme tanya jawab, sementara 38,6% memilih untuk bertanya melalui email atau nomor narasumber maupun melalui humas atau PR," lanjut Jojo.

Fakta keempat, jurnalis lebih suka diundang melalui WhatsApp (WA). Terbukti, separuh jurnalis (53,5%), mengaku lebih menyukai undangan melalui personal chat Whatsapp. Kemudian, disusul undangan melalui email (24,8%) ataupun langsung membagikan tautan yang bisa diakses semua orang (18,8%). Dalam undangan konferensi pers online, pengundang harus mencantumkan tautan untuk Room Meeting konferensi pers online, informasi waktu pelaksanaan dan mekanisme pelaksanaan, khususnya ketika sesi tanya jawab.

Sementara itu, preferensi waktu pelaksaan konferensi pers online adalah pada saat hari kerja (Senin sampai Jumat) dan waktunya sekitar makan siang (09.00 - 11.00 atau 12.00 - 14.00) atau sore hari sekitar pukul 15.00 17.00. Adapun dalam mengakses konferensi pers online, sebagian besar responden memilih menggunakan gadget (65,3%) dan 34,7% melalui laptop. Yang sedikit membedakan,

Fakta kelima adalah jurnalis seringkali menghadapi kendala sinyal yang buruk ketika konferensi pers online. Ada lebih dari separuh jurnalis (59,4%) menyatakan kendala yang dialami adalah gangguan internet yang tidak stabil. Selanjutnya, 27,7% mengaku membutuhkan internet yang lebih besar.

Sementara itu, untuk meminimalisir gangguan lain selama konferensi pers online berlangsung, diterangkan Jojo, para jurnalis berharap siaran pers bisa segera dibagikan melalui Whatsapp ataupun email. "Hal ini akan membantu mereka untuk mengeksplorasi sudut pemberitaan atau pertanyaan yang mereka butuhkan. Di samping itu, pembagian siaran pers juga membantu jurnalis ketika narasumber tidak informatif atau gangguan teknis dan tertinggal informasi, sehingga jurnalis bisa tetap mendapatkan informasi yang benar," tandasnya.

Yang perlu diperhatikan, saran Jojo, beberapa pernyataan responden cukup banyak mengeluhkan pencantuman email center atau nomor hotline pada siaran pers, sehingga menyulitkan jurnalis ketika ingin mengajukan pertanyaan ke narasumber. "Idealnya, siaran pers mencantumkan nomor atau email narasumber maupun tim humas atau PR yang bisa dihubungi. Dengan begitu, jurnalis bisa mendapatkan informasi yang mereka butuhkan," tutupnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)