Daftar 16 brand pembalut wanita yang terindikasi mengandung zat kimia berbahaya klorin, yang baru saja dirilis YLKI, rupanya membuat heboh konsumen di Indonesia. Isu yang menyedot perhatian netizen itu belakangan diamplifikasi serta menjadi viral di social media.
Tak tanggung-tanggung, hampir semua brand besar masuk ke dalam daftar "hitam" YLKI. Sebut saja, Charm yang kandungan klorinnya paling tinggi, Kotex, Laurier, Hers Protex, hingga Softex yang tercatat memiliki kandungan klorin paling rendah dibandingkan yang lainnya.
Buntutnya, tak sedikit konsumen Indonesia merasa was-was dan khawatir menggunakan pembalut. "Kalau semua brand mengandung zat kimia klorin yang berbahaya, saya jadi khawatir mau menggunakan pembalut," ungkap Lia, salah seorang konsumen yang kerapkali menggunakan pembalut wanita.
Isu klorin dari YLKI pun dibantah oleh Kementerian Kesehatan RI. Sayangnya, kendati Kementerian Kesehatan telah melakukan klarifikasi tentang amannya kandungan klorin dalam ambang batas yang wajar, namun isu bahaya klorin masih terus bergulir dan menjadi viral. Tentu saja, isu klorin versi YLKI tak menguntungkan bagi para pemilik merek.
Lantas, bagaimana reaksi para pemilik merek pembalut tersebut? Dijawab Rudolf Tjandra, Chief Marketing Officer PT Softex Indonesia, "Semua perusahaan raw material pembalut ada di Eropa dan Jepang. Mereka semua sudah di-approved oleh WHO. Dan, semua raw material yang digunakan di Indonesia sama dengan yang digunakan di belahan dunia manapun dan di-approved oleh Menkes ratusan negara."
Oleh karena itu, dikatakan Rudolf, Softex siap memperlihatkan surat approval WHO untuk semua raw material yang digunakan. "Supplier raw material untuk industri pembalut di Indonesia, sampai saat ini masih terbatas di Eropa, Jepang, dan sedikit dari USA. Mereka hanya bisa jadi supplier kalau sudah ada approval WHO. Di domestik sendiri, produk Softex sudah berpuluh tahun dites dan lulus BPOM," papar Rudolf.
Berbekal keyakinan itu, Softex pun memilih langkah defensif, bahkan tidak reaktif, dalam menyikapi isu klorin. Meskipun, kepercayaan konsumen mulai goyah tentang penggunaan pembalut. "Sampai saat ini, kami masih koordinasi dengan Kemenkes. Jadi, semuanya dikoordinir oleh Kemenkes. Sebab, isu ini terkait industri pembalut di Indonesia, termasuk industri pembalut di dunia," tutup Rudolf.