Jelang Hari Kesehatan Nasional pada 12 November 2018 mendatang, pemerintah terus mengupayakan pembangunan kesehatan melalui peningkatan kualitas gizi masyarakat. Sebelumnya, upaya pemerintah mengatasi berbagai masalah kekurangan gizi di Indonesia perlu diapresiasi.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 telah menunjukkan adanya perbaikan status gizi balita di Indonesia. Proporsi status gizi sangat pendek dan pendek turun dari 37,2% (Riskesdas 2013) menjadi 30,8%. Demikian juga proporsi status gizi buruk dan gizi kurang turun dari 19,6% (Riskesdas 2013) menjadi 17,7%.
Diungkapkan Peneliti dari Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Dr. drg. Amaliya, “Dalam rangka meningkatkan gizi masyarakat dan melalui semangat Hari Kesehatan Nasional, kami menilai sangat penting bagi seluruh pemangku kepentingan bersatu dan bekerja sama mengatasi permasalahan gizi di Indonesia. Salah satunya dengan meningkatkan konsumsi susu dalam kehidupan sehari-hari.”
Di sela-sela seminar kesehatan publik bertajuk "Kebaikan Susu sebagai Salah Satu Sumber Gizi Utama Masyarakat Indonesia" di Jakarta baru-baru ini, Amaliya menjelaskan bahwa susu dan produk olahannya memiliki kandungan protein, lemak, dan vitamin yang sangat dibutuhkan guna mendukung perkembangan seseorang di setiap tahap kehidupan.
Sayangnya, konsumsi susu di Indonesia masih sangat rendah. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat konsumsi susu masyarakat Indonesia pada tahun 2017 hanya berkisar 16,5 liter/kapita/tahun. Itu artinya, sangat rendah dibandingkan negara ASEAN lain sesuai data USDA Foreign Agricultural Service 2016, di mana konsumsi susu di Malaysia 50,9 liter, Thailand 33,7 liter, dan Filipina 22,1 liter.
Sampai saat ini, salah satu yang berandil besar terhadap konsumsi susu di masyarakat adalah susu kental manis. Akan tetapi, pandangan sebagian pihak mengenai susu kental manis terutama menyangkut kandungan gula dan susu masih kurang tepat sehingga memicu polemik.
Guna meluruskan berbagai perbedaan pandangan itu, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menerbitkan Peraturan (Perka) Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. Peraturan ini mewajibkan label produk susu kental manis mencantumkan keterangan “Perhatikan! Tidak untuk menggantikan Air Susu Ibu; Tidak Cocok untuk Bayi sampai usia 12 bulan; dan Tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya sumber gizi”.
Peraturan 31/2018 juga menegaskan susu kental manis sebagai produk susu, sejalan dengan Peraturan Kepala BPOM Nomor 21 tahun 2016 tentang Kategori Pangan. “Dalam aturan tersebut menyimpulkan susu kental manis adalah susu dan konsumsinya perlu memerhatikan aturan BPOM,” kata Amaliya.
Direktur Registrasi Pangan Olahan BPOM Anisyah, S.Si., Apt., M.P. berharap, penerbitan Perka BPOM 31/2018 akan menjawab berbagai pertanyaan masyarakat. Sesuai Perka tersebut, susu kental manis merupakan produk susu yang dapat dikonsumsi untuk meningkatkan gizi masyarakat Indonesia. Namun, seperti halnya pangan olahan lain, susu kental manis tidak bisa dijadikan satu-satunya sumber gizi. Oleh karenanya, setiap pangan olahan harus didampingi sumber nutrisi lain agar lebih seimbang.
“Kami sebagai bagian dari Pemerintah memiliki peran dan tanggung jawab untuk memastikan efektivitas National Food Control Systems, salah satunya melalui pengawasan pre market evaluation dan post market control, dalam hal ini evaluasi dan verifikasi terhadap sistem keamanan pangan yang diterapkan oleh industri,” ujar Anisyah.
Ketua Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Ir. Achmad Syafiq MSc. PhD menjelaskan, standar susu kental manis didasarkan kepada rumusan Codex Alimentarious Commission (Codex Stan 282-1971) dan Standar Nasional Indonesia (SNI) 2971-2011. Sesuai standard tersebut, susu kental manis harus mengandung protein minimal 6,5-9,52% dan kadar lemak minimal 8%.
Syafiq menegaskan susu kental manis juga memiliki kandungan energi yang diperlukan untuk mendukung pemenuhan gizi masyarakat, termasuk anak-anak. Oleh karenanya, susu kental manis tidak masalah dikonsumsi secara proporsional. “Kalau sudah berlebih, pangan olahan apapun juga tidak boleh,” tegasnya.
Ketiga narasumber sepakat bahwa edukasi mengenai pentingnya konsumsi susu, termasuk susu kental manis perlu dilakukan. “Kami mengapresiasi upaya BPOM mengakomodasi masukan dari konsumen, produsen, asosiasi, lembaga swadaya masyarakat, maupun akademisi terkait label pangan olahan yang kemudian ditegaskan dalam sebuah peraturan,” Amaliya menutup.