Dia mengingatkan, bisnis harus mempertimbangkan ulang pendekatan mereka terhadap pencegahan Fraud dengan mengintegrasikan sistem deteksi yang adaptif dan cerdas.
“Era metode verifikasi secara sederhana sudah tak lagi dapat digunakan. Saat ini, perusahaan memerlukan alat canggih untuk tetap berada selangkah di depan para pelaku fraud, yang menggunakan taktik canggih seperti pencurian identitas berbasis AI dan phishing,” tegas Bernardi dalam keterangan pers, Jumat (15/11), di Jakarta.
Menurut riset GBG, lebih dari 56% bisnis di Indonesia telah menjadi korban dari berbagai bentuk Fraud Digital. Salah satu tipe yang paling umum adalah Fraud Identitas Sintetis, di mana para pelaku kriminal menggabungkan data asli dan palsu untuk menciptakan identitas baru yang menyebabkan kerugian besar terhadap kredibilitas bisnis dan keamanan data.
Untuk mengatasi ancaman ini, whitepaper GBG mengidentifikasi beberapa langkah penting yang dapat diambil oleh bisnis, antara lain meningkatkan sistem verifikasi identitas dengan AI dan machine learning untuk mendeteksi pola halus perilaku pengguna, memberikan edukasi kepada tim tentang ancaman social engineering seperti phishing dan smishing, yang mempengaruhi 67% bisnis tahun sebelumnya, dan menerapkan pemantauan Fraud secara berkelanjutan untuk menangkap aktivitas mencurigakan sejak dini, sebelum eskalasi dilakukan lebih lanjut.
Temuan dan riset GBG memberikan analisis mendalam tentang ancaman-ancaman baru ini, serta menawarkan wawasan praktis bagi bisnis untuk memperkuat pertahanan mereka dan mengurangi kerugian akibat Fraud.
Whitepaper ini juga menekankan pentingnya menyesuaikan strategi deteksi Fraud berdasarkan tren regional, memastikan bahwa bisnis tidak hanya bereaksi terhadap ancaman tetapi juga secara proaktif mencegahnya.
"Pencegahan Fraud bukan lagi solusi one-size-fits-all. Whitepaper kami...