Ketika Peta Pertarungan Industri Telekomunikasi Berganti

Era digital membuat peta pertarungan di industri telekomunikasi berganti. Jika dulu pertarungan terjadi pada perang tarif SMS dan voice, maka saat ini yang terjadi adalah perang tarif data. Hampir semua operator secara agresif menawarkan promo tarif data yang menggiurkan bagi konsumen. Cukup dimaklumi, mengingat kebiasaan konsumen dalam berkomunikasi telah berubah, yakni mengarah pada data. Selain itu, tingkat penggunaan data internet konsumen Indonesia pun tercatat cukup tinggi, yakni lebih dari empat jam per hari.

Merujuk data ATSI (Asosiasi Telepon Selular Indonesia), 86% pengguna internet di Indonesia paling tidak sudah menikmati internet minimal dua tahun. Adapun lebih dari 70% pengguna internet di Indonesia mampu membayar tarif data yang mereka konsumsi. Sisanya, 30% tidak mau membayar.

Diterangkan Ketua ATSI Merza Fachys, alasan mereka yang willing to pay data internet adalah karena internet sudah menjadi kebutuhan pokok mereka. Adapun tiga hal yang membuat mereka mau membayar adalah kecepatan, kualitas jangkauan, dan harga (tarif).

Tak heran, jika “iming-iming” tarif data menjadi salah satu strategi yang kini dikedepankan oleh seluruh operator di Indonesia. Sayangnya, persaingan tarif data yang murah meriah mendorong salah satu pemain, Indosat Ooredoo, melayangkan surat kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika juga kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) apda 17 Juli 2017 lalu.

Surat tersebut berisi permohonan agar pemerintah dapat turun tangan mengatur tarif batas bawah internet, lantaran pendapatan yield data operator telekomunikasi terus turun dari tahun ke tahun. Yield data adalah total pendapatan data dibagi dengan total trafik data. Itu artinya, semakin tinggi yield, maka semakin tinggi efesiensi pada operator.

Dalam beberapa tahun terakhir, Indosat Ooredoo mencatat operator telekomunikasi menjual layanan data dengan harga di bawah biaya produksi, sehingga mekanisme pasar tidak dapat berjalan dengan normal. Hal itulah yang membuat pendapatan yield data Indosat terus turun dari tahun ke tahun dan dinilai berbahaya karena terjadi merata pada semua operator.

“Praktis semua operator terjebak dalam perang tarif. Oleh karena itu, pemerintah harus turun tangan mengatur tarif batas bawah dan harus mulai didiskusikan sekarang,” ujar Alexander Rusli, Presiden Direktur dan CEO Indosat Ooredoo.

Menyikapi hal itu, ITF (Indonesia Technology Forum) sebagai komunitas berkumpulnya para praktisi telekomunikasi, kembali menggelar diskusi interaktif telekomunikasi pada hari ini (26/7). Mengusung tema “Mencari Tarif Data yang Ideal”, diskusi tersebut menghadirkan pembicara kunci Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, Presiden Direktur dan CEO Indosat Oredoo Alexander Rusli, Ketua ATSI Merza Fachys, Ketua KPPU M. Syarkawi Rauf, Komisioner BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) Ketut Pribadi, dan Ketua Harian Lembaga Yayasan Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi.

Rudiantara menyebut bahwa pemerintah harus berada di titik optimal dalam melihat kepentingan industri telekomunikasi dan masyarakat sehingga ada keseimbangan. “Harus ada kompetisi sehingga masyarakat mendapat opsi produk maupun layanan. Yang jelas, saya tidak menetapkan floor price, tetapi membuat formula tarif data yang memungkinkan operator masih mendapat ruang untuk bermanuver dalam berkompetisi,” tegas Rudiantara.

Menyikapi persoalan tarif data, Ketut mengatakan bahwa pihaknya akan segera mematangkan formula tarif sesuai amanat pasal 28 UU no.36 tahun 1999 tentang telekomunikasi. “Kami masih membahas internal, bulan depan akan mengumpulkan operator, dan kira-kira dalam 3-4 bulan Peraturan Menteri (PM) tentang formula tarif data akan keluar,” kata Ketut. Dalam menyusun formula tarif tersebut terdiri dari biaya elemen jaringan (network element cost) ditambah biaya aktivitas layanan retail (retail services activity cost), dan profit margin. Artinya, PM 9/2008 akan segera diperbarui untuk mengakomodir layanan data.

Menurut Tulus Abadi, dari sudut pandang konsumen, tarif telekomunikasi—baik voice, SMS, maupun data—seharusnya dikembalikan kepada apa yang dibutuhkan konsumen. “Konsumen membutuhkan layanan dengan kecepatan dan cakupan layanan yang besar. Kalau perlu diterapkan Standard Pelayanan Minimum agar ada standard yang disepakati bersama pada layanan yang diberikan oleh operator seluler,” saran Tulus yang menyebutkan bahwa Telekomunikasi menjadi Top 5 Pengaduan yang diterima YLKI.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)