MIX.co.id - Kehadiran Platform Intermediary atau Platform Perantara sebagai akses informasi dan pengetahuan masih menjadi isu hangat yang terus diperbincangkan. Platform Intermediary secara tidak langsung menyajikan konten yang bermuatan teks, gambar, lagu, atau video buatan pengguna, yang muatannya memiliki berbagai potensi positif maupun negatif, seperti mengandung unsur pencemaran nama baik, pornografi, melanggar hak cipta, atau menimbulkan rasa kebencian.
Diungkapkan Dr. Justisiari P. Kusumah, S.H., M.H., Managing Partner K&K Advocates, dengan adanya berbagai kegiatan di internet, berbagai masalah hukum dapat muncul terkait dengan peran Platform Intermediary. “Kondisi ini tentu saja harus menjadi perhatian seluruh pihak, untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab,” ucapnya pada Webinar K&K Advocates bertajuk ‘Tanggung Jawab Platform Intermediary di Indonesia’ yang digelar hari ini (23/9).
OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development) mendefinisikan Platform Intermediary sebagai sektor bisnis yang berperan mempertemukan atau memfasilitasi transaksi antara pihak ketiga di internet. Mereka memberi akses, menempatkan, mengirimkan dan mengindeks konten, produk, dan layanan yang berasal dari pihak ketiga di Internet atau memberikan layanan berbasis Internet kepada pihak ketiga. Platform Intermediary mencakup perusahaan web hosting, Penyedia Layanan Internet (ISP), mesin pencari, dan platform media sosial.
Di Indonesia, isu mengenai tanggung jawab hukum Platform Intermediary dalam pemanfaatan teknologi internet di Indonesia, semakin mengemuka ketika muncul kasus information disorder (kekacauan informasi), konten Hate Speech dan SARA, konten kekerasan, konten Pelanggaran HKI, dan pelanggaran Privasi dan perlindungan data pribadi, yang memanfaatkan platform perantara.
Menurut Ketua Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Dr. Hj. Sinta Dewi Rosadi, S.H., LL.M., kewajiban platform perantara memiliki arti sebagai tanggung jawab hukum (kewajiban) atas aktivitas ilegal atau berbahaya yang dilakukan oleh pengguna melalui layanan mereka.
“Platform memiliki kewajiban untuk mencegah terjadinya aktivitas yang melanggar hukum atau merugikan oleh pengguna layanan mereka. Kegagalan untuk melakukannya dapat mengakibatkan konsekensi hukum yang memaksa perantara untuk bertindak atau mengekspos perantara ke tindakan hukum perdata atau pidana,” ujarnya.
Ada dua model dalam menentukan tanggung jawab Intermediary, yakni model Safe Harbour dan model Generalist. Untuk model pertama, intermediary dibebaskan dari semua tuntutan atas tindakan dari pengisi konten/legally safe place (a safe harbour). “Ada jenis vertical safe harbour yang dibatasi pada bidang tertentu saja, misalnya hanya untuk kasus Hak Cipta atau Trademark Horizontal lebih beragam kasusnya,” katanya.
Sementara itu, untuk model Generalis, tanggung jawab platform perantara diatur oleh hukum perdata atau pidana. Model ini banyak diterapkan di negara-negara di mana platform perantara diminta bertanggungjawab atas konten yang dimuat, baik yang secara langsung maupun tidak langsung. “Sebab, mereka dianggap memiliki kontrol atas informasi yang dimuat. Contoh di negara Afrika dan Amerika Latin,” papar Sinta.
Danny Kobrata, S.H., LL.M., Partner K&K Advocates, menegaskan, aturan tanggung jawab hukum intermediary di Indonesia termuat dalam Permenkominfo 5/2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat dan perubahannya. Sebelumnya, diatur melalui PP 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE). PSE Privat antara lain Marketplace, Toko Online, Payment Gateway, FinTech, Layanan On-Demand Berbayar, Sosial Media, hingga Search Engine.
“Dalam Permenkominfo 5/2020 diatur bahwa PSE bertanggung jawab atas seluruh konten di dalamnya. Lalu, PSE privat dilarang untuk memuat konten illegal dan menfasilitasi konten illegal. Ilegal berarti melawan hukum, menyebabkan keresahan, memfasilitasi aksi ke konten ilegal. Namun, UCG (User Generated Platform) dapat dianggap tidak bertanggung jawab, apabila tidak menyediakan sarana pelaporan, bekerja sama dengan Lembaga Penegak Hukum (LPH), dan melakukan take down,” imbuhnya.
Teguh Arifiyadi S.H., M.H.,Plt. Direktur Pengendalian, Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika, Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, mengimbuhkan, dalam mengatur PSE Lingkup Privat, terdapat dua mekanisme yang dilakukan oleh Kemenkominfo, yaitu Pendaftaran dan Pengendalian.
Mekanisme pendaftaran oleh PSE Lingkup Privat diperlukan agar pemerintah mengetahui semua jenis layanan system elektronik yang ada dalam wilayah Indonesia serta memastikan bahwa PSE Lingkup Privat dapat beroperasi sesuai dengan segala ketentuan perundang-undangan yang berlaku di wilayah Indonesia.
Sementara itu, mekanisme Pengendalian terhadap PSE Lingkup Privat diperlukan agar pemerintah mampu meminimalisasi resiko kejahatan siber, penyalahgunaan data, dan pelanggaran konten yang mungkin terjadi akibat derasnya arus informasi dan cepatnya perkembangan teknologi.