"Green marketing" (atau "pemasaran hijau") adalah praktik pemasaran yang melihat keberlanjutan lingkungan, dan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap lingkungan sebagai hal yang utama. Tujuan dari green marketing adalah untuk mempromosikan produk atau layanan yang berdampak lingkungan lebih rendah, memperkenalkan praktik bisnis yang lebih ramah lingkungan, dan memperkuat citra perusahaan sebagai pemimpin dalam isu-isu lingkungan.
Contoh dari green marketing termasuk penggunaan kemasan yang dapat didaur ulang, bahan baku yang diambil dari sumber daya terbarukan, atau produk yang menggunakan teknologi yang lebih efisien energi atau air. Pemasaran hijau juga dapat mencakup penyampaian informasi yang transparan dan jelas tentang praktik lingkungan perusahaan, seperti laporan keberlanjutan atau sertifikasi lingkungan.
Namun, perlu diingat bahwa praktik green marketing harus dilakukan dengan jujur dan konsisten dengan tindakan nyata yang diambil oleh perusahaan. Jika tidak, hal itu dapat disebut "greenwashing", yang mengacu pada upaya pemasaran yang menipu atau mengelabui konsumen tentang praktik lingkungan perusahaan. Disini perusahaan harus memastikan bahwa praktik bisnis mereka sesuai dengan nilai-nilai yang mereka promosikan melalui green marketing.
Masalah green marketing selalu menarik dibicarakan. Beberapa survey menunjukkan semakin banyak orang yang peduli terhadap lingkungannya. Mereka juga semakin menuntut perusahaan untuk menciptakan lingkungan yang bersih dan lebih nyaman.
Dalam domain green marketing, keragaman latar belakang penulisnya tentang berbagai isu keberlanjutan dari berbagai perspektif teoritis dan praktis berkontribusi pada keunikan sekaligus nilai tambah buku ini.
Beberapa konsep teoritis yang relevan (misalnya, berbasis sumber daya, pemasaran berorientasi hijau, resource-advantage model, orientasi pasar, segmentasi hijau, cause-related marketing, dan teori berbasis kompetensi) diusulkan.
Keberlanjutan telah menjadi perhatian global, di mana bisnis yang diperlukan untuk menciptakan dan menjaga penekanan pada tiga bottom line bawah (people, planet, dan profits). PBB menetapkan 17 tujuan pembangunan berkelanjutan di 2015 untuk tahun 2030. Salah satu tujuannya adalah konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab (Goal 12).
Contoh-contoh yang didiskripsikan meliputi pemasaran hijau di industri cat, pencucian hijau dalam bisnis ritel, dan rantai nilai hijau. Terakhir namun tidak kalah pentingnya, sebuah bab khusus dikhususkan untuk meninjau bagaimana tanggapan pemasaran hijau terhadap pertumbuhan konsumen hijau.
Buku yang terdiri dari 25 Bab ini adalah hasil dari karya kolaboratif anggota AACIM (Asian Association for Consumer Interests and Marketing-Asosiasi Asia untuk Kepentingan Konsumen dan Pemasaran) untuk mengelaborasi topik terkini tentang keberlanjutan. Ada 33 pakar dan praktisi bidang konsumen dan pemasaran terlibat dalam penulisan buku ini.
Sejalan dengan Goal 12 dari tujuan pembangunan berkelanjutan PBB, masalah keberlanjutan merupakan kunci dari perspektif konsumen dan pemasar. Dari sinilah gagasan konseptual/teoritis dan studi empiris di beberapa topik terkait -- mulai dari fenomena makanan hijau dan kesenjangan hijau hingga rantai nilai hijau dan perilaku hijau di tempat kerja -- dimunculkan.
Dari perspektif konsumen, dibahas masalah yang relevan dan implikasi dari kesenjangan hijau (inkonsistensi antara sikap konsumen terhadap hijau dan perilaku pembelian yang sebenarnya dari konsumen tersebut), pemasaran hijau dari perspektif hukum perlindungan konsumen, konsumsi makanan hijau, dan praktek-praktek CRM (Customer Relationship Management).
Salah satu bab membahas mengenai "Reassessing peran mediasi sikap konsumen terhadap membeli produk hijau" yang ditulis oleh Andhy Setyawan, dan Fandy Tjiptono berusaha untuk menilai kembali peran perantara (mediating) sikap konsumen terhadap pembelian produk hijau.
Ini khusus dalam pengaruh kepedulian lingkungan dan pengetahuan tentang niat pembelian produk hijau dan kesediaan konsumen untuk membayar harga premium yang berfokus pada anggota generasi Z di beberapa kota di Indonesia.
Secara umum, temuan memberikan bukti awal kesenjangan hijau. Sikap positif terhadap membeli produk hijau mungkin terkait dengan niat yang lebih tinggi untuk membeli produk hijau. Tetapi, sikap yang baik yang sama mungkin tidak menghasilkan kesediaan tinggi untuk membayar harga premium untuk produk hijau.
Sebuah bab lainnya bertajuk Green Campus dan Green Consumer: konsep dan implementasi di Indonesia, fokus pada mahasiswa Universitas di Indonesia sebagai salah satu konsumen hijau yang penting.
Bab ini menyoroti perlunya perubahan perspektif dan pendekatan baru untuk mempertimbangkan Universitas sebagai pusat pengembangan manusia. Perilaku mahasiswa yang mengacu pada konsep Green Consumer bersama dengan konsep Green Campus juga dibahas