Di sisi lain, Generasi Z menunjukkan preferensi yang kuat terhadap makanan Korea dan lebih sering terlibat dalam memasak makanan instan, dengan 15% dari mereka jarang memasak, dan 4% tidak pernah memasak sama sekali.
Alasan utama untuk tidak memasak di antara Gen Z adalah karena orang lain memasak untuk mereka, diikuti oleh kurangnya keterampilan memasak (37% responden) dan faktor praktikalitas (27% responden).
Selain itu, hampir setengah dari responden, yaitu 46%, mengaku memasak setiap hari, dengan 49% dari Generasi X lebih sering memasak setiap hari dibandingkan dengan 38% Millennials dan 46% Gen Z. Survei ini juga menemukan bahwa pria lebih sering memasak makanan instan dibandingkan wanita, mencerminkan perubahan dalam dinamika kebiasaan memasak di rumah.
Dari segi demografi, survei ini menangkap gambaran yang luas dengan 37% responden berasal dari wilayah Jakarta Raya dan 44% dari pulau Jawa, mencakup berbagai kalangan mulai dari pengusaha yang mendominasi dengan 30%, hingga mahasiswa dan pekerja lepas.
Data ini memberikan wawasan yang kaya tentang bagaimana kebiasaan memasak dan penggunaan alat dapur berinteraksi dalam konteks kehidupan modern Indonesia, serta bagaimana perbedaan generasi dan gender mempengaruhi dinamika dapur.
Temuan ini tidak hanya memberikan pemahaman mendalam tentang perilaku konsumen saat ini tetapi juga membuka peluang bagi industri makanan dan dapur untuk menyesuaikan strategi dan inovasi produk mereka sesuai dengan kebutuhan dan preferensi masyarakat yang beragam.
Dari perspektif teoritis, hasil survei ini memberikan bukti tambahan tentang bagaimana faktor sosial, teknologi, dan ekonomi membentuk perilaku konsumen. Misalnya, pergeseran generasi muda ke arah praktisitas dan penggunaan teknologi dalam memasak mencerminkan perubahan sosial dan adaptasi yang terus berlangsung.
Hal ini juga menggambarkan bagaimana teori ekonomi perilaku dapat menjelaskan keputusan yang diambil konsumen tidak hanya berdasarkan efisiensi tetapi juga kenyamanan psikologis.
Dari sudut pandang praktis, temuan ini membuka banyak peluang untuk inovasi dan penyesuaian dalam industri makanan dan alat dapur. Produsen alat dapur, misalnya, dapat merancang produk yang lebih sesuai dengan kebutuhan generasi yang lebih muda yang menghargai kemudahan dan efisiensi.
Kursus memasak dan pendidikan kuliner juga memiliki peluang untuk menarik minat dengan menyediakan konten yang menarik dan mudah diakses, menjawab kekurangan keterampilan memasak yang diungkapkan oleh banyak responden.
Kampanye kesehatan masyarakat juga bisa memanfaatkan informasi ini untuk mendorong lebih banyak orang memasak di rumah sebagai bagian dari gaya hidup sehat. Dengan menyadari bahwa memasak di rumah sering kali menghasilkan makanan yang lebih sehat, pemerintah dan organisasi kesehatan bisa mengembangkan strategi yang mempromosikan keterampilan memasak sebagai sarana untuk memerangi obesitas dan penyakit terkait diet.
Selain itu, upaya pengurangan limbah dan keberlanjutan bisa mendapatkan dukungan dari kebiasaan responden dalam menyusun makanan terlebih dahulu untuk menghindari pemborosan. Inisiatif ini bisa mencakup pendidikan tentang penggunaan bahan sisa dan pengawetan makanan yang lebih baik, membantu individu tidak hanya mengurangi limbah tetapi juga menghemat biaya.
Temuan dari survei ini tidak hanya memberikan gambaran tentang bagaimana orang berinteraksi dengan dapur dan kebiasaan memasak mereka, tetapi juga bagaimana sektor terkait dapat merespons untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen yang terus berubah