Dalam dua minggu terakhir, humor Mukidi telah menghebohkan publik di Indonesia. Mulai dari grup Whats App, BBM, hingga social media seperti Fecebook, beredar deras lelucon dengan tokoh Mukidi. Sebut saja humor keseharian, politik. hingga isu percakapan orang dewasa. Bahkan, tak sedikit humor yang sudah beredar beberapa tahun lalu, didaur ulang dengan menggunakan penokohan Mukidi.
Apakah viral lelucon Mukidi akan bertahan lama? Diprediksi Yuswohady, Pengamat Pemasaran sekaligus penulis buku-buku marketing dan juga penggagas Indonesia Brand Forum, viral humor Mukidi tidak akan bertahan lama. “Paling lama, viral ini akan bertahan satu bulan. Sebab, salah satu faktor yang membuat viral adalah orisinalitas (otentik). Oleh karena itu, jika viral ingin bertahan lama, maka cerita lucu yang dihadirkan harus menawarkan inovasi, alias tidak mengulang cerita sebelumnya,” papar Yuswohady.
Namun, menurut Yuswohady, salah satu kekuatan dari viral humor Mukidi adalah mediumnya, yakni dalam bentuk cerita tertulis. Hal itu tentu akan menjadi medium yang baru. “Sesuatu yang sifatnya tertulis jauh lebih kuat dibandingkan gambar. Itu sebabnya, kesuksesan sebuah film tidak pernah dapat mengalahkan novel. Contohnya, antara film dan novel Harry Potter, lebih kuat novelnya,” jelasnya.
Pertanyaan selanjutnya, apakah fenomena viral lelucon Mukidi dapat dimanfaatkan pemasar sebagai tools branding atau marketing produk mereka? Diterangkan Yuswohady, dalam memanfaatkan momentum yang tengah viral, para pemasar atau pengelola merek harus berhati-hati agar tak beresiko untuk merek mereka.
Menggunakan viral humor Mukidi sebagai tools komunikasi dan pemasaran, dinilai Yuswohady, cukup beresiko. Mengingat, dari humor-humor yang dihadirkan, tokoh Mukidi berkarakter polos, sehingga kerapkali dijadikan candaan. “Tentu saja, tidak ada brand yang mau dijadikan bahan candaan. Oleh karena itu, untuk memanfaatkan viral sebagai tools komunikasi dan pemasaran, pemasar harus mempertimbangkan betul faktor resiko dan harus mampu membuat inline dengan karakter brand mereka,” lanjutnya.
Tak mengherankan, dengan pertimbangan itu, sampai saat ini belum ada satupun brand yang memanfaatkan viral humor Mukidi sebagai tools komunikasi dan marketing merek mereka. Termasuk, merek kopi Mukidi dari Temanggung—yang memiliki nama yang sama—yang memilih tidak menggunakan viral humor Mukidi untuk tools komunikasi dan pemasaran mereknya.
Padahal, selama ini, kopi Mukidi tengah gencar mempopularkan kopi Temanggung lewat festival kopi dan internet. Produk kopi olahan Mukidi, selain dijual secara langsung kepada warga, juga dipasarkan lewat internet, blog, website, situs jejaring sosial Facebook, Twitter, dan sejumlah e-commerce. Bahkan, Mukidi sampai memiliki tim marketing khusus yang menangani masalah tersebut.
Kendati demikian, ditambahkan Yuswohady, tidak tertutup kemungkinan untuk pemasar memanfaatkan viral humor Mukidi untuk tools komunikasi mereka. Misalnya, menyelipkan brand dalam cerita humor Mukidi (built in branding). “Tentu saja, memasukkan brand ke dalam cerita humor harus dibuat sekreatif mungkin, sehingga dapat nge-blend dalam cerita, terkesan otentik, dan tetap lucu. Alias, tidak terkesan iklan. Nah, cerita masih terkesan otentik jika brand muncul sekali. Namun, biasanya, jika brand muncul berkali-kali dalam cerita humor, maka akan hilang orisinalitasnya (otentik),” kata Yuswohady mengingatkan.