Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa industri influencer memerlukan aturan yang jelas dan profesionalisasi untuk mencegah eksploitasi dan meningkatkan transparansi, demi masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan.
.
.
Industri influencer telah menjadi fenomena global yang tak terbantahkan dalam dua dekade terakhir. Dimulai dari sesuatu yang kecil, kini ia telah merambah ke berbagai sektor dan mengubah cara kita mengonsumsi informasi dan budaya.
Meskipun demikian, seperti yang diungkapkan oleh Emily Hund dalam artikel "Why the Influencer Industry Needs Guardrails" yang diterbitkan di Harvard Business Review (Mei–Juni 2024), ada banyak masalah mendasar yang perlu diatasi untuk memastikan industri ini berfungsi dengan cara yang etis dan profesional.
Seperti banyak hal lain, awal mula industri influencer bisa dilacak kembali ke beberapa faktor yang terjadi secara bersamaan. Pada awal tahun 2000-an, perangkat lunak seperti WordPress dan Blogger membuat penerbitan mandiri menjadi mungkin bagi siapa saja yang memiliki komputer.
Platform media sosial seperti Facebook, YouTube, dan Twitter kemudian memperluas fenomena ini, memungkinkan "orang biasa" untuk membuat konten untuk internet.
Era yang bertepatan dengan menurunnya kepercayaan publik terhadap media massa dan pemerintah, membuat platform ini tampil sebagai alternatif yang lebih autentik dan demokratis. Namun, janji akan koneksi dan pemberdayaan ini datang dengan tantangan tersendiri.
Krisis finansial 2008 dan resesi besar yang menyusul menjadi katalisator bagi pertumbuhan industri ini. Puluhan juta pekerja kehilangan pekerjaan mereka dalam waktu singkat. Orang-orang yang menganggur dan setengah menganggur beralih ke blogging dan media sosial untuk menunjukkan keahlian mereka, menjalin jaringan, dan memberi tahu dunia bahwa mereka masih ada.
Keaslian para kreator awal ini sangat kuat karena mereka, untuk sebagian besar, adalah orang-orang "seperti kita" yang berjuang di tengah ketidakpastian ekonomi dan profesional. Generasi yang sedang tumbuh saat itu menyaksikan, belajar, dan mengubah hubungan mereka dengan pekerjaan.
Para profesional di bidang periklanan dan pemasaran, yang juga merasakan tekanan dari gejolak ekonomi, mulai memonetisasi hubungan antara influencer awal dan pengikut mereka—audience yang jauh lebih tersegmentasi dibandingkan dengan media besar. Namun, influencer tidak diatur oleh standar jurnalistik, memungkinkan merek untuk membayar liputan dengan uang tunai atau produk gratis. Konten bersponsor pun lahir dari sini.
Ketika mengikuti perkembangan industri ini sepanjang tahun 2010-an, bisa disaksikan bagaimana industri ini berkembang pesat. RewardStyle, yang awalnya didedikasikan untuk membuat blog dan Instagram bisa dibeli, menjadi pemimpin dalam pemasaran afiliasi dan kini menghasilkan lebih dari $4 miliar penjualan tahunan untuk mitra mereknya. Digital Brand Architects mempelopori model manajemen influencer dan telah mengatur kesepakatan yang mengubah industri untuk kreator seperti Aimee Song dan para ahli organisasi di balik Home Edit. Sementara itu, Fohr, Dash Hudson, IZEA Worldwide, dan agen lainnya menciptakan berbagai alat dan proses untuk meningkatkan volume dan presisi kampanye influencer.
Namun, seiring dengan perkembangan yang pesat, muncul pula...