Tingginya pengaduan tentang pemalsuan merek--dimana dalam setahun dapat mencapai 150-200 pengaduan--memicu Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) untuk menggelar kegiatan sosialisasi sekaligus edukasi kepada produsen selaku pemilik merek serta konsumen yang mengkonsumsi merek. Terlebih, kerugian ekonomi yang diakibatkan atas penggunaan barang atau merek palsu mencapai Rp 65,1 triliun di 2014.
Oleh karena itu, sejak beberapa tahun lalu, MIAP giat memperkuat kerja sama dengan setiap para pemangku kepentingan kekayaan intelektual dalam mengkampanyekan Peduli Asli dan Menolak Barang Palsu. Di antaranya, MIAP terus berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia, produsen, hingga konsumen sebagai pengguna akhir.
Dikatakan Widyaretna Buenastuti, Ketua Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan, sejatinya pendaftaran merek memberikan keamanan bagi produsen sekaligus memberikan kenyamanan bagi konsumen. Oleh karena itu, langkah sosialisasi sekaligus edukasi menjadi kuncinya. Salah satu upaya sosialisasi yang telah dilakukan MIAP pada Mei 2017 lalu adalah mengedukasi tentang UU Merek ke para pendaftar merek. "Langkah edukasi ini menjadi penting, karena ada sejumlah ketentuan baru di dalam UU Merek. Misalnya, soal Merek Terkenal yang sering disengketakan," tegasnya.
Lebih jauh ia menjelaskan bahwa sosialisasi pentingnya penghargaan dan perlindungan kekayaan intelektual harus terus dilakukan sejalan dengan langkah menggaungkan semangat Peduli Asli, yang merupakan komitmen yang akan dijaga oleh MIAP guna melindungi konsumen dari ancaman produk palsu.
Faktor lain yang mendorong menjamurnya merek atau produk palsu, ditambahkan Widyaretna, adalah makin maraknya online shoping yang berisiko didominasi barang palsu alias asli tetapi kualitas 1-2, alias KW 1 atau KW 2. "Untuk itu, penjual produk secara online harus memastikan hak konsumen dalam menikmati produk asli. Sebab, seringkali gambar yang ada di layar internet berbeda dengan barang yang diterima," ucapnya.
Diakui Widyaretna, banyaknya peredaran barang-barang palsu di masyarakat disebabkan oleh minimnya pemahaman masyarakat akan bahaya pemalsuan dan tentang produk palsu. Ia mencontohkan, pada produk software, banyak pembeli yang mencari harga yang murah, tetapi mereka tidak tahu bahwa ada kerugian yang terpapar dari produk bajakan yang berpotensi tinggi dalam bahaya serangan dunia maya yang berasal dari trojan, botnet, dan malware.
Data MIAP dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa terjadi peningkatan penggunaan software bajakan. Jika di 2010 yang pernah menggunakan software bajakan sejumlah 62%, maka di 2014 mengalami peningkatan menjadi 85%. "Namun, dari hasil tersebut, ada hal yang menyenangkan bahwa 38% pengguna saat ini mulai ada keinginan untuk membeli produk yang asli setelah mengetahui kerugian menggunakan software bajakan atau palsu," tegasnya.
Untuk itu, MIAP terus menggandeng seluruh pemangku kepentingan kekayaan intelektual untuk melakukan edukasi Peduli Asli. Selama ini, yang telah dilakukan MIAP antara lain kampanye Indonesia Tolak Barang Palsu dan Bajakan yang dilakukan pada tahun 2012, 2014, dan 2016 bersama Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) dan Angkasa Pura di bandara Soekarno Hatta Jakarta dan bandara Djuanda Surabaya. "MIAP juga bekerja sama dengan Kementerian Hukum dan HAM untuk mengadakan sosialisasi di 33 bandara," tuturnya.
Pengawasan terhadap pelanggaran kekayaan intelektual, khususnya terkait merek, juga dilakukan secara berkelanjutan oleh jajaran Direktorat Merek, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kemenkumham RI. Kegiatan pengawasan tersebut tentunya juga dilakukan bersama jajaran direktorat lainnya di DJKI maupun lintas sektoral, dengan instansi terkait lainnya.