Middle Class Indonesia, Sedang Tidak Baik-Baik Saja

MIX.co.id – Sedang tidak baik-baik saja, ungkapan ini setidaknya paling pas ditujukan ke kalangan kelas menengah (middle class) Indonesia. Di tengah ketidakpastian ekonomi dan deflasi yang terjadi selama beberapa bulan terakhir, sebanyak 49% kelas menengah merasa bahwa daya beli mereka menurun signifikan.

Hal itu disampaikan oleh Yuswohady, Managing Partner Inventure dalam Press Conference Indonesia Industry Outlook 2025 dengan tema Indonesia Market Outlook 2025: Kelas Menengah Hancur, Masihkah Bisnis Mantul?

“Ada fakta penurunan daya beli kelas menengah, yakni sebesar 49%. Ini nyaris setengahnya. Tetapi, siapa saja mereka? Mereka adalah aspiring middle class,” kata Yuswohady dalam pemaparan hasil riset secara daring, Selasa (22/10), di Jakarta.

Riset dilakukan oleh Inventure pada bulan September 2024 melibatkan 450 total responden yang terdiri dari kelas menengah Milenial dan Gen Z di lima kota besar (Jabodetabek, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar). Riset mengunakan metode face to face interview.

Riset mengungkap lebih dalam tentang kelas menengah yang mengalami penurunan daya beli ini. Dari 49% yang mengalami daya beli menurun signifikan, terbagi ke dalam dua kelompok yaitu kelompok aspiring middle class dan middle class.

Sebanyak 67% responden dari kelompok aspiring middle class ini melaporkan bahwa daya beli mereka menurun, sedangkan untuk middle class hanya 47%. Artinya, aspiring middle class (kelas menengah bawah) adalah kelompok yang paling rentan terhadap penurunan daya beli dibanding kelas middle class. Ini menunjukkan bahwa tekanan ekonomi saat ini lebih dirasakan oleh kelompok aspiring middle class dibandingkan dengan kelas middle class.

Mereka merasa, tiga faktor utama yang membuat daya beli mereka turun adalah kenaikan harga kebutuhan pokok (85%), mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan (52%), serta pendapatan yang stagnan (45%).

Menurut survei Inventure, turunnya daya beli kelas menengah memaksa mereka untuk menunda pengeluaran besar yang dianggap berisiko. “Hal ini mengungkapkan dengan jelas, kelas pekerja sudah tidak punya uang untuk berbelanja, dan menahan uangnya,” tegas Yuswohady lagi.

Komponen tiga teratas pengeluaran yang ditunda adalah membeli kendaraan (70%). Responden menilai bahwa di kondisi ekonomi yang kurang baik, mereka tidak berminat membeli atau mengambil cicilan kendaraan.

Kedua adalah membeli/renovasi rumah (68%), dan selanjutnya adalah investasi atau tabungan non-emergency (56%).

Hal ini dikarenakan rumah dan mobil merupakan investasi besar yang membutuhkan komitmen finansial jangka panjang. Terlebih pembelian rumah dan mobil seringkali didanai oleh kredit dengan cicilan bertahun-tahun. Alhasil, ketika daya beli anjlok, kelas menengah lebih memilih mengurangi pengeluaran besar ini untuk menjaga kestabilan keuangan mereka.

Pages: 1 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)