Pelajaran dari Skandal PR Terbesar 2014

Penipuan dan rekayasa oleh organisasi baik sebelum, selama, atau setelah krisis, akhirnya diungkap oleh media. Sikap jujur sangat penting untuk komunikasi krisis. Satu aturan dasar untuk menangani krisis adalah dengan mengatakan kebenaran secara cepat sebelum spekulasi dan rumor menyebar.

Namun demikian, terlalu cepat berkomunikasi sedangkan situasinya masih belum jelas, seringkali perusahaan harus menarik kembali pernyataan mereka. Situasi akan diperhatikan oleh para stakeholder dan media secara kritis. Ulmer et al. (2007) mengemukakan bahwa pada tingkat tertentu ambiguitas dalam laporan awal dapat berguna untuk memungkinkan organisasi berkomunikasi dengan para pemangku kepentingan sampai analisa situasi dan informasi yang akurat tersedia.

Ketika itu, Sony belum mengonfirmasikan kebenaran pembocoran ini, tetapi dikutip oleh majalah Variety mengatakan, "Pencurian konten Sony Pictures Entertainment merupakan tindakan kriminal, dan kami tengah bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengatasinya." Setelah media melaporkan informasi tersebut, Pascal meminta maaf kepada publik terkait email sensitif dan tidak pantas itu

Para peretas juga mengancam Sony untuk tidak menayangkan film itu. Beberapa pihak meyakini ancaman terhadap Sony yang akan merilis film the Interview itu. Juni lalu, Korea Utara mengeluh kepada PBB terkait film yang dibintangi Seth Rogen dan James Franco, menuduh Amerika Serikat mensponsori terorisme dan melakukan tindakan perang karena mengizinkan produksi film.

Dari sudut pandang komunikasi, situasi yang dihadapi Sony menempatkan perusahaan tersebut berada dalam posisi yang dilematis. Banyak pihak yang menyalahkan Sony dengan mengatakan buruknya sistem keamanan di internal Sony. Apalagi peretasan tersebut dikait-kaitkan dengan Korea Utara.

Dilihat dari sudursudut pandang PR, ada kesalahan langkah dalam mengatasi situasi tersebut. Sikap tak segera mengakui adanya peretasan tersebut dan meminta maaf, membuat Sony makin menjadi bulan-bulanan publik. Baru pertengahan Desember lalu Sony mengakui itu dan meminta maaf. Namun kerusakan sudah terjadi. PR News menyebut ini sebagai skandal PR terbesar 2014.

Dilema kedua terkait film the Interview, bila perusahaan tersebut terus melanjutkan rencananya merilis dan memutar film tersebut pada 25 Desember, sesuatu yang mengerikan bisa saja terjadi di sebuah teater yang tengah memutar film itu. Perusahaan bisa dituduh mengumpankan belasan, puluhan atau bahkan ribuan orang sebagai umpan ke serigala. Bila itu terjadi, nyaris tidak ada upaya public relations yang bisa menyelamatkannya.

Di sisi lain, jika studio membatalkan rencana rilisnya, itu menunjukkan kelemahan -- karakteristik yang tidak populer dalam bisnis, terutama di Hollywood.

Setelah pengumumkan itu, Sony menghadapi tuduhan bahwa keputusan itu dibuat karena ketakutan. Aaron Sorkin dan Judd Apatow menyebut keputusan "serangan terhadap kebebasan berbicara," dan Steve Carrell, melalui Twitter, menyesalinya sebagai "hari yang menyedihkan bagi ekspresi kreatif." Presiden Obama juga ikut bersuara dengan mengatakan kepada ABC News bahwa orang harus terus pergi ke bioskop.

Gambaran diatas menunjukkan dengan jelas bahwa satu dan kejadian yang sama dapat menciptakan reaksi audience yang sama sekali berbeda. Sebuah strategi yang efektif dalam satu budaya atau negara tidak dijamin akan sukses di tempat lain. Ini karena pada dasarnya setiap krisis itu unik.

Sony melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukan ketika berhadapan dengan pengganggu. Sony gagal untuk membela diri. Memang benar bahwa ada dugaan ancaman kekerasan dilakukan dalam hal Sony merilis The Interview. Namun, dengan adanya tuntutan hacker dan tidak melepaskan film, Sony membiarkan orang-orang jahat memenangkan pertempuran ini.

The Interview memang tetap diminati orang. Namun apapun yang terjadi, saat ini Sony harus mengevaluasi kembali staf mereka. Reorganisasi beberapa posisi kunci harus dilakukan untuk tidak mengulang kegagalan mereka dalam melindungi sistem tekonologi informasi mereka.

Hal kedua adalah publik kini menunggu apa yang dilakukan Sony terkait dengan perbaikan sistem keamanan IT-nya itu. Salah satu contoh manajemen dan komunikasi krisis yang sukses diperontonkan oleh Tylenol pada 1982. Merek Johnson & Johnson ini dihadapkan pada persoalan gangguan kapsul yang mengakibatkan kematian pelanggan.

Johnson & Johnson segera meluncurkan kampanye humas besar-besaran untuk menginformasikan publik mengingat saat itu telah beredar 31 juta kapsul Tylenol di pasar. Perusahaan membawa produk ke pasar dengan kemasan tamper-resistant, tapi setelah gangguan produk lain pada 1986, perusahaan mengganti kapsul dengan pil dan kaplet. Insiden ini yang berpotensi menghancurkan ini dikelola secara efektif. Respon yang cepat dan terbuka tidak hanya membantu perusahaan berhasil memulihkan kepercayaan stakeholder, tapi juga membuat kasus Tylenol mejnadi salah satu contoh buku teks tentang bagaimana mengelola krisis.

Pages: 1 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)