Jika Anda ingin menjalankan bisnis yang sukses, sebaiknya tidak meniru Donald Trump karena perusahannya sempat beberapa kali mengalami kebangkrutan. The Washington Post sendiri bahkan menuliskan bahwa kekayaan Donald Trump makin menumpuk kalau dia membeli saham pada tahun 1978. Tapi saangnya, itu tidak dilakukannya sehingga akhirnya perusahaannya sempat bangkrut.
Meski begitu, ada pelajaran berharga yag bisa dipetik dari Donald Trump yang kini mencalonkan diri jadi presiden AS dari partai Republik. Para marketer (pemasar) melihat Donald Trump adalah sosok layaknya sebuah merek (brand) yang terkenal. “Kini, saat dirinya mencalonkan diri menjadi presiden, pengalamannya sebagai pengusaha diterapkan saat berkampanye untuk menarik massa. Pelajaran tersebut adalah bagaimana dirinya memanfaatkan kekuatan emosi yang dituangkan dalam pesan-pesan kampanyenya,” ujar para marketer.
“Jika Anda membuat ikatan emosi cukup kuat, apakah itu dengan pemilih atau dengan konsumen, semua fakta di dunia tidak akan mengubah kesetiaan Anda,” begitu jargon-jargon yang muncul di kalangan marketer dalam menilai “brand” Donald Trump.
Politisi dan pengiklan sudah tahu. Pidato Konvensi Nasional Partai Republik Trump berisi pesan tentang kekhawatiran yang mengarah pada munculnya rasa takut. Tak keliru bila isi pidatonya dijuluki dengan “Himne Takut”.
Menurut beberapa penelitian, misalnya di Universitas British Columbia, mengungkapkan pidatonya membuat orang begitu putus asa untuk meyakinkan bahwa mereka akan membentuk ikatan kuat satu dengan yang lain, termasuk ikatan dengan “merek” sekali pun.
Kemudian, dia dengan kepiawaiannya menggiring pikiran (mindset) khalayak ke arah nostalgia. Seperti pada iklan Kodak pada adegan Mad Men ketika Don Draper akan datang untuk slide proyektor Kodak.
"Ini membawa kita ke tempat di mana kita meninggalkan rasa sakit masa lalu. Ini memungkinkan kita melakukan perjalanan pulang ke tempat yang kita cintai dan kembali mewujudkan AS sebagai negara besar,” papar juru bicara Universitas British Columbia. Seperti slogan-slogan kampanyenya "Make America Great Again" yang dipampang pada topi baseball Trump.
Donald Trump sangat piawai menggugah emosi khalayak, lalu mencoba menyuguhkan solusi bersama – lewat jargon-jargon kampanye - untuk menumbuhkan rasa kebersamaan dalam sebuah ikatan yang kuat untuk menjalankan solusi tersebut.
Rupanya, pesan kampanye Trump – meski disindir dengan istilah “himne takut” - menciptakan trending topic yang ramai dibicarakan, baik di kalangan pemerintahan, kalangan akademisi, hingga obrolan di supermarket, terminal bus atau tempat keramaian lainnya, termasuk pula di sosial media. Topik ini kemudian menyebar luas dan menjadi viral.
“Donal Trump mengajarkan tentang keterlibatan emosional. Perusahaan dapat menumbuhkan keterlibatan emosional dengan memikirkan bagaimana merek mereka berhubungan dengan perasaan mendalam target audiens,” lanjut juru bicara Universitas Columbia itu.
Salah satu perusahaan yang sukses menjalankannya dalam stategi pemasarannya adalah Procter & Gamble (P&G), pada produk sabun cuci bubuk dan popok bayi. Dalam iklan bertajuk “Olimpiade Rio” dikisahkan tentang perjuangan anak-anak saat pelatihan bagi atlet internasional. Mereka kerap menghadapi situasi menakutkan, tekanan dan kekecewaan dalam latihan.
Dari perjuangan yang dilalui, ibu mereka meyakinkan dan mendorong mereka serta merayakannya sambil menangis saat anaknya meraih juara. "Dibutuhkan seseorang yang kuat untuk membuat seseorang kuat. Terima kasih ibu,” begitu akhir dari iklan P&G. Iklannya memiliki 10 juta views di Youtube.
Tapi, itu tidak penting. Sebuah penelitian tentang efektivitas iklan, sebagaimana dilansir dari The National Business mengungkapkan bahwa brand yang mengusung pesan emosional adalah dua kali lebih efektif sebagai branding. Sebuah iklan yang menggugah emosi, maka otak pemirsa dirangsang oleh rasa takut, kecemasan, nostalgia, kekaguman, heran dan kegembiraan. Seseorang menanggapi merek tidak ada bedanya ketika dia menanggapi orang lain. Jika itu menginspirasi respon emosional positif yang kuat di dalamnya, maka mereka akan tetap setia. (W Setiawan)