MIX.co.id – Penetapan Resale Price Maintenance (RPM) terhadap sebuah produk adalah praktik yang umum terjadi dalam bisnis.
Kendati dalam pasal 8 Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli disebutkan tidak boleh menetapkan harga jual kembali, namum penetapan RPM itu bukan absolutely tindakan anti persaingan usaha.
Hal itu disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH. M.Li. “Semuanya produk kalau harganya ditetapkan kembali atau RPM itu sebetulnya praktek yang biasa saja. Pasti kan ada alasannya produsen melakukan hal itu. Ada the rule of reason, tidak absolut,” ujarnya dalam keterangan pers, Selasa (17/9), di Jakarta.
Menurutnya, hubungan antara produser dan reseller adalah hubungan vertikal yang terafiliasi antara produser yang mendistribusikan produk ataupun resellernya dan bukan horizontal atau sesama pesaing.
Artinya, kata Prof Ningrum, dari atas ke bawah ada hubungan terafiliasinya. Ada alasan-alasan bisnis tertentu yang bisa diterima untuk produsen melakukan RPM. Misalnya, untuk lebih efisien dan lebih memastikan perilaku distributor atau resellernya.
“Ada hubungan hukum, ada kontrak, ada perjanjian. Sebab, kalau di reseller dan distributornya menjual seenaknya saja, ya dia bisa dihantam oleh pesaingnya secara horizontal. Kan dia mesti jaga juga itu,” tukasnya.
Lanjutnya, seringkali yang terkait dengan penetapan harga itu menjadi sensitif. “Tapi, sekali lagi, kan mesti lihat hubungannya, apakah reseller dengan produsernya satu keluarga atau tidak. Kalau bukan sesama pesaing, saya kira RPM itu tidak apa-apa dilakukan,” ucapnya.
Di Amerika, menurutnya, penetapan harga jual kembali itu awalnya memang sangat sensitif dan dilarang total. Tapi, katanya, di tahun 2007 lalu, Mahkamah Agung Amerika menemukan adanya error selama ini dan dalam keputusannya pun berubah total. Secara ekonomi bisnis, RPM itu dinyatakan bukan absolutely tindakan anti persaingan.
Prof. Ningrum mengatakan model bisnis itu tidak selamanya semua sama. Ada bisnis yang memang lebih bagus kalau dikontrol dengan menetapkan harga jual kembali dan ada jaminan pasokan, misalnya. Kemudian memastikan bahwa bisnisnya tidak berdampak terhadap persaingan interbrand.
“Coba kalau nggak dikontrol, si reseller itu suka-suka jual harganya. Kalau ketinggian kan produknya nggak laku, tapi kalau kerendahan bisa rugi dan kalah dari pesaingnya. Makanya tetap kritis, harus ditanya apa motifnya? Kenapa dia harus menetapkan harga jual kembali,” tandasnya. ()