Penyakit Tidak Menular (PTM) menyebabkan sekitar 41 juta kematian di dunia setiap tahunnya. Bahkan, saat ini, PTM menjadi penyebab utama kematian di dunia. Di negara berpendapatan menengah ke bawah atau low-middle income countries (LMICs) seperti Indonesia, sekitar 28 juta kematian setiap tahunnya disebabkan oleh PTM.
Sementara itu, kondisi layanan kesehatan saat ini umumnya masih bersifat reaktif. Bahkan, seringkali kurang memiliki kapasitas untuk mengobati penyakit tidak menular, terutama yang bersifat kronis jangka panjang seumur hidup.
Bagi individu sendiri, mereka dapat meminimalkan risiko PTM dengan melakukan perubahan gaya hidup maupun dengan tidak melakukan aktivitas yang berbahaya bagi kesehatan seperti merokok, pola makan tidak sehat, dan kurangnya aktivitas fisik yang aktif. Sayangnya, cara tersebut tidak selalu mudah bagi sebagian masyarakat.
Oleh karena itu, untuk memastikan hak mereka atas kesehatan, setiap individu paling tidak harus menyadari hak mereka atas informasi dan hak untuk menikmati manfaat dari kemajuan ilmiah. Hal ini harus mencakup pengetahuan tentang dan akses ke produk-produk alternatif atau kurang berbahaya seperti garam rendah sodium, gula rendah kalori, dan rokok alternatif.
Dikatakan Marzuki Darusman, Ketua dan Pendiri Foundation for International Human Rights Reporting Standards (FIHRRST), bisnis telah melakukan beberapa upaya untuk mengurangi risiko kesehatan melalui inovasi-inovasinya. "Namun, diperlukan akses terhadap informasi tersebut, baik dari pemerintah maupun perusahaan," ucapnya.
Oleh karena itu, FIHRRST telah melakukan penelitian tentang hak atas informasi dan inovasi ilmiah di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan produk alternatif atau yang kurang berbahaya.
Selanjutnya, hasil studi dan rekomendasi penelitian tersebut disampaikan oleh FIHRRST kepada berbagai pemangku kepentingan di Hotel Ashley, pada hari ini (3/10). Dibuka oleh Mualimin Abdi, Dirjen Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, acara itu dilanjutkan dengan diskusi yang dihadiri antara lain oleh perwakilan Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP), Komisi Informasi Pusat (KIP), Universitas Padjadjaran, Universitas Indonesia, Lakpesdam PBNU, PT Garam, dan MoVI.
Pada kesempatan itu, FIHRRST menyampaikan rekomendasi kepada berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah, pelaku usaha, dan organisasi kemasyarakatan. FIHRRST merekomendasikan agar pemerintah dapat mendorong keterlibatan publik dalam penelitiannya. Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan insentif dan menyelenggarakan forum-forum penelitian.
Kedua, perlu dibuat peraturan perundang-undangan yang mencerminkan pemahaman terkini tentang sains dan teknologi secara transparan dan objektif. Apabila departemen atau kementerian terkait telah mengevaluasi produk-produk tersebut, negara dapat mengizinkan pelaku usaha yang menghasilkan produk-produk alternatif untuk menjual produk-produk tersebut kepada masyarakat dengan batasan-batasannya.
Selanjutnya, menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memberikan informasi tersebut dengan cara yang mudah dipahami oleh publik. Sehingga perlu diteliti bagaimana cara warga mengonsumsi informasi, khususnya informasi tentang kesehatan. Terutama pada faktor-faktor yang dapat menghambat penyebaran informasi yang akurat seperti buta huruf dan penolakan-penolakan dari masyarakat.
“Masyarakat berhak untuk memperoleh informasi terbuka. Upaya pemerintah untuk menyampaikan informasi harus lebih ditingkatkan melalui berbagai aplikasi kemajuan teknologi dan media, konsisten, dan memperkuat sistem informasi kesehatan,” ujar Dr. Ardini Raksanagara, dr., MPH dari Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran.
Sementara itu, untuk pelaku usaha, FIHRRST merekomendasikan mereka untuk dapat mengambil pendekatan proaktif untuk mengurangi bahaya yang ditimbulkan oleh produk-produk mereka. Pelaku usaha tidak bisa hanya menunggu pemerintah untuk mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang dirancang untuk melindungi pelanggan mereka.
"Pelaku usaha harus secara aktif menginformasikan kepada publik tentang inovasi ilmiah yang mungkin kurang berbahaya bagi kesehatan mereka. Selain itu, pelaku usaha perlu membuat penelitian-penelitian yang mereka lakukan agar tersedia bagi komunitas akademik, ilmiah, atau medis untuk dapat ditinjau secara independen," tutup Marzuki.