MIX.co.id - Di Indonesia, kanker payudara merupakan kanker yang paling banyak ditemukan pada perempuan dan menjadi penyebab kematian akibat kanker tertinggi pada perempuan Indonesia, yakni 21,4%. Salah satu jenis kanker payudara yang ganas dan menyebar lebih cepat adalah kanker payudara jenis HER2-positif.
Kanker payudara HER2-positif merupakan jenis kanker payudara dimana pasien dinyatakan positif protein yang disebut human epidermal growth factor receptor 2 (HER2). Satu dari lima pasien kanker payudara termasuk HER2-positif.
Berangkat dari fakta itu, Roche Indonesia menggelar program edukatif bertajuk “Kenali Kanker Payudara Jenis HER2- POSITIF dan Inovasi Terbaru dalam Penanganannya”, pada hari ini (21/7), di Jakarta.
Selain dihadiri oleh media, sejumlah pembicara pakar dihadirkan pada program edukasi kali ini. Mereka adalah Dokter Onkologi Dr. dr. Andhika Rachman, SpPD-KHOM; Chairman of the Indonesia Health Economic Association InaHEA Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, DrPH; dan Access, Comms & Health System Value Strategy Director Roche Indonesia Lucia Erniawati.
Dikatakan DR. Andhika, “HER2 (Human Epidermal Growth Factor Receptor 2) merupakan protein yang terdapat di permukaan sel yang berfungsi untuk pertumbuhan dan penyebaran sel. Jika jumlah HER2 terlalu banyak dapat mengakibatkan pertumbuhan sel yang cepat dan tidak terkendali. Pada sel kanker HER2 positif maka sel kanker menjadi lebih agresif dan menyebar dengan cepat. Kanker HER2 positif ditemukan pada 15–20% dari kanker payudara dan memiliki prognosis (perjalanan penyakit) yang buruk. Deteksi dini dan penatalaksanaan yang tepat terhadap kanker payudara HER2 positif menjadi sangat penting untuk memaksimalkan penanganannya.”
Sementara itu, berdasarkan studi PHranceSCa, 85% pasien dengan kanker payudara HER2-positif lebih memilih terapi suntik subkutan pertuzumab+trastuzumab dengan dosis tetap dibandingkan pertuzumab+trastuzumab infus, karena merasa lebih nyaman selama pemberian obat dan hemat waktu, walaupun pemberian secara suntik sedikit lebih nyeri. Pengobatan inovatif ini juga menguntungkan bagi tenaga kesehatan, karena mengurangi waktu perawatan karena diberikan tanpa rekonstitusi, tanpa pelarutan, tanpa penyesuaian/perhitungan dosis sesuai berat badan pasien dan tanpa akses jalur infus seperti kemoport.
Ditambahkan Prof. Hasbullah, keterbatasan sumber daya kesehatan menuntut...