“Kita sendiri maklum, persaingan di kalangan provider kadang sarat dengan klaim-klain superlatif tentang harga termurah, terluas, terkuat jaringanya, dan sebagainya. Padahal, dalam EPI juga telah diatur bahwa perbandingan diperbolehkan sepanjang didukung dengan data serta dilakukan dengan metodologi, sumber, dan penelitian yang diungkap dengan jelas. Dengan demikian, konsumen bisa memilih dengan informasi yang akurat,” ujarnya.
Bahkan, khusus harga, urai Bambang, EPI juga mengatur dalam artikel 1.20, dimana perbandingan harga hanya dapat dilakukan terhadap efesiensi dan kemanfaatan penggunaan produk dan harus disertai dengan penjelasan atau penalaran yang memadai. “Meskipun seringkali pihak pegiklan memanfaatkan tanda asterik dalam klaimnya, namun tanda *) tidak boleh digunakan untuk menyembunyikan, menyesatkan, atau membingungkan khalayak, seperti yang tercantum dalam artikel EPI 1.3,” tandasnya.
Dengan adanya klaim termurah plus tanda asterik oleh hampir semua provider, menurut Bambang, maka konsumen justru menjadi bingung mana yang sebenarnya benar-benar paling murah. Bila praktik semacam ini kemudian meluas ke segala jenis periklanan, maka kredibilitas iklan akhirnya akan menurun dan khalayak sulit mempercayai klaim-klaim iklan lagi.
“Semoga kasus seperti ini menjadi pelajaran bagi kita semua untuk menghindari praktik-praktik persaingan yang tidak sehat, baik melalui iklan-iklan di media massa maupun iklan melalui social media dan kegiatan-kegiatan di toko, special event, pasar, dan sebagainya,” harap Bambang.
Badan Musyawarah Etika - Dewan Periklanan Indonesia, diungkapkan Bambang, saat ini sedang melakukan pembenahan dan konsolidasi untuk melakukan edukasi kepada para stakeholder untuk melakukan kegiatan iklan yang selalu menjunjung tinggi tiga asas periklanan. Pertama, asas jujur, benar, dan bertanggung jawab. Kedua, bersaing secara sehat. Ketiga, melindungi dan menghargai pemangku kepentingan; tidak merendahkan agama, budaya, negara dan golongan; serta tidak bertentangan dengan hukum
Dewan Periklanan Indonesia, diyakini Bambang, sangat terbuka untuk melakukan sosialisasi EPI kepada asosiasi-asosiasi industri atau produsen agar para anggotanya memahami adanya Etika Periklanan. “Bila semua pelaku industri periklanan menerapkan kode etik periklanan ini, maka pemeritah tak akan merasa perlu banyak mengeluarkan aturan-aturan bagi industri, karena telah dianggap bisa mengatur dirinya sendiri,” tutup Bambang.