Kesadaran perusahaan-perusahaan di Indonesia yang berbasis penggunaan kayu hutan untuk memiliki sertifikasi tercatat sudah cukup tinggi. Merujuk catatan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), saat ini sudah ada 400 anggota yang tergabung di APHI. Dari total anggota tersebut, yang memiliki sertifikasi dengan skema mandatory oleh pemerintah atau lebih dikenal dengan SVLK, tercatat tinggi. Namun, untuk sertifikasi dengan skema voluntary antara lain lewat sertifikasi berskala internasional, FSC (Forest Stewardship Council), masih sedikit.
Fakta itulah yang mendorong FSC bersama The Borneo Initiative (TBI) dan APHI untuk mengedukasi para pelaku usaha di Tanah Air untuk memiliki sertifikasi dengan skema mandatory maupun voluntary. Pentingnya sertfikasi berstandard internasional seperti sertifikasi FSC, diakui Chairperson FSC Rulita Wijayaningdyah, adalah ketika perusahaan ingin memasuki pasar ekspor atau global.
“Di negara-negara luar seperti Eropa misalnya, mereka memiliki kebijakan untuk menggunakan kayu yang telah disertfikasi. Sebab, dengan sertifikasi, perusahaan harus mampu melakukan produksi secara legal dengan praktik pengelolaan hutan secara bertanggung jawab dan berkelanjutan. Selain itu, konsumen di sana pun sudah sadar untuk membeli produk-produk berbahan dasar kayu dengan label yang bersertifikasi, meskipun harganya sedikit lebih tinggi,” ungkap Rulita di sela-sela penyerahan sertifikasi FSC yang digelar pada hari ini (28/9), di Jakarta.
Berbagai program edukasi kepada perusahaan maupun konsumen (end user) di Indonesia pun dilakukan pihak FSC. Dipaparkan Rulita, untuk mengedukasi perusahaan, FSC memilih pendekatan komunitas seperti bekerja sama dengan komunitas APHI serta TBI. TBI sendiri adalah sebuah yayasan nirlaba yang berbasis di Belanda, yang didedikasikan untuk memperlambat deforestasi atau degradasi di daerah tropis, dengan fokus khusus pada pulau Kalimantan.
“Dari 50 perusahaan yang akan mendapatkan bantuan dari TBI, ada 28 perusahaan yang telah berhasil memperoleh sertifikasi FSC. Sedangkan, empat perusahaan lainnya segera menyusul. Targetnya, akan ada 32 perusahaan yang bersertifikasi hingga akhir tahun 2017 ini. Harapan kami, 25% dari seluruh konsesi hutan di Indonesia akan mengikuti praktik-praktik pengelolaan hutan yang lestari dan berkelanjutan,” papar Iwan Kurniawan, Program Director The Borneo Initiative.
Sejatinya, kerberhasilan sertifikasi FSC yang diraih oleh perusahaan-perusahaan tersebut merupakan hasil dari sinergi yang strategis antara berbagai mitra, antara lain TBI, APHI, TFF (Tropical Forest Foundat on), WWF/GFTN-iD (Global Forest Trade and Network), TNC (The Nature Conservancy), Institut Wana Aksara, dan sebagainya.
Sementara itu, untuk mengedukasi konsumen atau end user di Indonesia, FSC juga rutin menggelar aktivasi di perkantoran maupun pusat belanja. “Sampai saat ini, konsumen Indonesia masih pada fokus pada membeli produk yang ramah lingkungan dan dapat didaur ulang. Namun, belum sampai mempertimbangkan produk yang sudah bersertifikasi SVLK atau FSC, yang notabene sudah memenuhi proses produksi yang legal dan berkelanjutan bagi hutan yang lestari,” tutup Rulita.