Survey GBG: Kejahatan Siber Diprediksi akan Meroket hingga 68% pada 2020-2021

Survey GBG: Kejahatan Siber Diprediksi akan Meroket hingga 68% pada 2020-2021Studi “Future-proofing Fraud Prevention in Digital Channels: an Indonesian FI Study” yang dirilis GBG mengungkapkan tingkat fraud atau kejahatan penipuan di Indonesia tidak menunjukkan penurunan. Bahkan, tipe kejahatan dengan model money mule diprediksi akan meningkat drastis di tahun 2020-2021.

GBG berkolaborasi dengan The Asian Banker menggelar survei di lebih dari 300 institusi finansial di enam negara wilayah Asia Pasifik, seperti Australia, China, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Indonesia. Survey ini untuk menganalisis dampak penipuan pada institusi finansial dan teknologi. Hasil survey ini akan digunakan untuk mengurangi ancaman penipuan, termasuk memahami cara mengatasi pola atau jenis penipuan baru.

Melalui studi ini tercatat bahwa Indonesia menempati peringkat tertinggi di Asia Pasifik untuk rencana peluncuran produk pinjaman instan. Terbukti, ada 43% institusi finansial di Indonesia yang berencana menawarkan pinjaman instan. Sementara itu, 67% berencana menawarkan on-the-go-banking, seperti aplikasi mobile banking, eWallet, dan mobile wallet. Disusul, 25% berencana menawarkan P2P Payment dan fund transfer dengan menggunakan nomor handphone.

Fakta lainnya, lonjakan platform pembayaran seperti LinkAja, OVO, dan GoPay di Indonesia, telah mendorong peningkatan adopsi pada layanan finansial selular. Tak heran, jika 61% pengguna internet di Indonesia telah menggunakan perbankan selular. Selain itu, pandemi Covid-19 juga ikut mempercepat adopsi mobile banking. Bahkan, jika dibandingkan rata-rata tingkat adopsi layanan finanansial di Asia Pasifik, tingkat adopsi layanan melalui aplikasi (30%) dan mobile di Indonesia (27%) terhitung lebih tinggi.

Fakta berikutnya, ternyata rata-rata volume transaksi digital harian di Indonesia merupakan yang terbesar dibandingkan enam negara Asia Pasifik yang disurvey, yakni mencapai Rp 690 juta di tahun ini. Volume transaksi digital di Indonesia diprediksi akan stabil dalam dua tahun ke depan.

Ada sejumlah tantangan yang dihadapi institusi finansial ketika adopsi transaksi digital mulai meningkat. Salah satunya adalah fraud atau kejahatan siber. Survey ini menjumpai fakta bahwa kerugian akibat serangan siber mencapai 32% dan penipuan langsung mencapai 27%. Dua kerugian tersebut menemapti peringkat teratas di tahun 2019. Di kawasan Asia Pasifik, kejahatan siber diperkirakan mencapai US$ 171 miliar.

Dikatakan June Lee, APAC Managing Director GBG, salah satu kejahatan siber adalah Money Mule, yakni ketika seseorang pernah mendapatkan SMS yang mengiming-imingkan upah dan orang tersebut akhirnya mau membuka rekening bank untuk dibantu dikelola transaksinya oleh pihak lain. Jenis penipuan ini memadukan scam dengan first party fraud, sehingga menjadikannya sulit untuk dideteksi. “Institusi finansial di Indonesia harus mewaspadai tipe penipuan ini, karena diprediksi akan meroket hingga 68% pada 2020-2021,” ucapnya.

Studi dari GBG ini juga menemukan bahwa Pemalsuan Identitas (55%) dan Pencurian Identitas (53%) masuk bersama-sama dengan money mule dalam jenis fraud dengan tingkat pertumbuhan tertinggi di Indonesia tahun ini. “Oleh karena itu, institusi finansial di Indonesia disarankan untuk lebih menjaga keamanan digital nasabahnya,” saran June.

Lebih jauh ia menjelaskan, kebutuhan untuk segera melakukan transisi dan mendukung adopsi layanan keuangan digital merupakan tantangan terbesar bagi institusi finansial di Indonesia. Orang Indonesia pada umumnya sangat terbiasa bertatap muka secara langsung. Terbukti, hasil survey ini juga menunjukkan bahwa Unbanked atau segmen yang secara historis tidak menggunakan atau tersentuh layanan perbankan, juga diprediksi meningkat. Bahkan, segmen ini menjadi fokus segmen pelanggan baru oleh institusi finansial lokal.

“Hal Ini bukan hanya tentang membuat konsumen beralih menuju adopsi digital, tetapi juga upaya organisasi agar memiliki sarana yang mampu secara inovatif memadukan penilaian risiko kredit seluler dengan teknologi penipuan dan menjembatani kurangnya data. Tujuan kami adalah menciptakan keseimbangan untuk meniadakan maraknya pola penipuan digital dan menciptakan lingkungan perbankan digital yang aman bagi masyarakat Indonesia,” ucapnya.

Pada saat ini, institusi finansial di Indonesia diperkirakan akan menganggarkan biaya sebesar 88.9 juta dolar untuk berinvestasi pada teknologi pencegahan fraud baru di 2020. Hal ini membuat Indonesia sebagai negara ketiga dengan budget tertinggi untuk mencegah fraud di Asia Pasifik, setelah Thailand dan China.

Untuk menjawab kebutuhan institusi finansial di Indonesia, GBG memiliki Digital Risk Management dan Intelligence Platform yang mencakup seluruh proses digital onboarding dan memonitor perjalanan transaksi pengguna. Platform ini menawarkan pilihan untuk menambah modul GBG Machine Learning untuk mengurangi false positive dan modul orkestrasi lainnya untuk meningkatkan deteksi fraud. “Dengan deretan solusi dari GBG, maka dapat membantu institusi finansial dan pemerintah dalam memerangi fraud dan kejahatan siber finansial,” kata June.

Selain itu, teknologi digital end to end dan compliance memudahkan perbankan dan institusi finansial lainnya untuk memaksimalkan keakuratan deteksi penipuan hingga 30%. “Dengan demikian, pengalaman pelanggan hingga upaya perlindungan di Indonesia dapat ditingkatkan,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)